Mohon tunggu...
Arnold Japutra
Arnold Japutra Mohon Tunggu... Dosen - Edukator

Pemerhati dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ironi "Tere Liye" dan Standar Penghasilan yang Tidak Sesuai bagi Penulis

28 September 2017   20:31 Diperbarui: 28 September 2017   21:02 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di awal bulan September 2017, bumi pertiwi kembali dikejutkan dengan berita yang disebarkan melalui media sosial oleh seorang penulis. Penulis tersebut bernama Tere Liye. Ia mengemukakan protes yang diakibatkan oleh dikenakannya pajak penulis yang dianggap tidak adil. Akibatnya, ia memutuskan untuk menghentikan kerjasama dengan penerbit dan memilih media digital - terutama media sosial - sebagai saluran distribusi karya-karyanya. Pada artikel ini saya tidak akan membahas kasus "Tere Liye" tetapi lebih pada standar penghasilan/gaji yang tidak sesuai, terutama di dunia pendidikan. Kenapa di dunia pendidikan? Dunia akademik, terutama perguruan tinggi (PT), tidak pernah lepas dari tiga hal yang tertuang dalam Tri Dharma PT, yaitu: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, dan pengabdian kepada masyarakat. Tiga hal ini tidak pernah terlepas dari menulis. Riset yang baik dan berimplikasi luas juga perlu untuk didiseminasikan dalam bentuk tulisan. 

Kondisi yang memprihatinkan

Nelson Mandela pernah mengatakan: "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world". Edukasi dinilai sebagai jalan keluar bagi banyak hal, termasuk kemisikinan. Tidak dapat dipungkiri bahwa membaca adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan. Begitu pula yang dikatakan oleh Kofi Annan: "Literacy is a bridge from misery to hope". Mengingat begitu pentingnya karya-karya tulis tentunya banyak yang berpikiran bahwa penghasilan seorang penulis juga tentunya menggiurkan. J. K. Rowling, pengarang buku "Harry Potter", dinilai mempunyai kekayaan bersih sekitar USD 650 juta.(1) Wow, jumlah yang sangat menggiurkan bukan? Banyak juga yang beranggapan tentunya menjadi seorang dosen yang akan menghasilkan riset-riset dan dituangkan dalam karya tulis juga akan mendapatkan imbal penghasilan yang sebanding. Apakah begitu? Ternyata tidak. 

Gaji dari dosen per bulan dari PT sangat memprihatinkan. Banyak sekali dosen yang berpenghasilan kurang dari Rp. 10 juta per bulan (pendidikan S2) atau kurang dari Rp. 15 juta per bulan (pendidikan s3). Padahal untuk menjadi seorang dosen tidaklah mudah. Untuk menjadi seorang dosen di Indonesia, banyak PT yang mulai mensyaratkan minimal memiliki pendidikan S3. Apakah murah untuk menempuh dan menggapai gelar doktor? Saya mengambil contoh dari tiga PT di Indonesia yang masuk ranking 500 besar dunia (2), yaitu: Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). 

Untuk program doktoral di bidang ilmu manajemen di UI dan ITB setiap mahasiswa harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 25 juta/semester, sementara di UGM sebesar Rp 17.5 juta/semester. Paling cepat program doktoral ini ditempuh dalam waktu 6 semester, artinya biaya yang harus dikeluarkan berkisar dari Rp 105 juta - Rp 150 juta. Ini belum termasuk biaya lain-lain, seperti dana pembangunan, biaya riset, buku dan lain sebagainya. Artinya dengan penghasilan Rp 10 juta per bulan, paling tidak diperlukan simpanan selama 10 bulan (tanpa pengeluaran yang mana tidak mungkin terjadi). 

Memang banyak beasiswa ditawarkan, namun keterbatasan tempat selalu menjadi persoalan tersendiri. Seringkali opsi yang dipilih adalah memakai uang pribadi untuk melanjutkan studi ke program doktoral. Lalu setelah lulus dari program doktoral, yang terjadi adalah kesulitan untuk mengembalikan uang yang telah terpakai untuk menempuh program tersebut. Bayangkan apabila kita menginginkan para pengajar kita untuk menempuh pendidikan di institusi yang lebih baik di luar negeri. 

Tentunya biaya yang dikeluarkan menjadi berkali lipat lebih besar. Jika ingin balik setelah menggapai program doktoral, maka gaji yang didapatkan di Indonesia adalah kurang dari Rp. 15 juta per bulan. Kapan biaya yang dikeluarkan dapat kembali? Mungkin kalau dihitung feasibility-nya, tidak banyak yang berniat untuk menempuh program doktoral. Tentunya banyak yang akan memiliki argumen bahwa para dosen ini bisa mencari penghasilan tambahan setelah menyelesaikan program doktor. 

Ya, memang ini yang terjadi tetapi apa yang diakibatkan? Akibatnya, banyak dosen yang sibuk mencari penghasil tambahan dan melupakan tugas utama yaitu Tri Dharma PT. Tidak heran jika dunia akademik menjadi memprihatinkan sehingga tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand bahkan Vietnam. Belum lagi gaji ini menjadi tidak berimbang jika dibandingkan dengan mahasiswa yang dibimbing. Baru-baru ini Bank Mandiri membuka lowongan untuk lulusan s1 dengan gaji minimal Rp 8 juta. (3) Miris rasanya melihat kondisi ini sehingga terjadi fenomena yang terkenal dengan sebutan "brain drain" dimana banyak akademisi berkualitas yang memutuskan untuk tidak kembali ke bumi pertiwi. Bukannya mereka tidak mao kembali, tetapi jika kembali untuk menderita apakah hal tersebut akan dilakukan? 

Standar baru diperlukan

Melihat kondisi yang memprihatikan ini, apakah bisa PT di Indonesia ini bersaing. Indonesia hanya memiliki 3 PT yang masuk ke ranking 500 besar dunia dari 678 PT (53 PTN dan 625 PTS). (4) Artinya hanya terdapat 0.4% saja PT, dari seluruh PT di Indonesia, yang memiliki peringkat dunia yang mumpuni. Persoalannya adalah apakah dengan standar gaji yang berlaku sekarang para akademisi yang masih berpendidikan s2 akan tertarik untuk menempuh pendidikan s3? 

Terlebih lagi dengan munculnya ketimpangan baru, dalam hal penghasilan, di dunia akademik dan non-akademik. Apakah generasi berikutnya akan tertarik untuk menempuh karier di dunia akademik? Kalau tidak ada yang tertarik untuk menempuh karier di dunia akademik, bagaimana dengan masalah regenerasi? Bayangkan, sulitnya menempuh pendidikan s3 (harus menghasilkan riset yang mempunyai kontribusi orisinil) dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan, membuat banyak orang berpikir ulang untuk terus maju. Belum lagi penghasilan yang jauh dari harapan dan jauh jika dibandingkan dengan dunia non-akademik. 

Oleh karena itu, pemerintah harus mulai merancang suatu standar baru penghasilan untuk dunia akademik. Jika tidak maka dapat dipastikan regenerasi di dunia akademik akan menjadi persoalan di masa yang akan datang. Di luar negeri, penghasilan seorang dosen yang berpendidikan s3 (level: lecturer/senior lecturer) sebanding dengan seorang dengan jabatan "General Manager". Balik ke masalah "Tere Liye", tentunya jika standar pajak dikenakan sesuai dengan standar penghasilan yang diberikan, tentunya protes tersebut tidak akan terjadi. Mari kita perhatikan kesejahteraan para akademisi untuk Indonesia yang lebih baik. 

"Education is our passport to the future, for tomorrow belongs to the people who prepare for it today" - Malcolm X

Referensi:

1. Forbes

2. http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/

3. Detik

4. BPS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun