Marilah kita buang jauh-jauh rasa pesimisme dan skeptisisme yang kita miliki. Sebagai seorang yang duduk di editorial board dan reviewer dari jurnal internasional yang bereputasi, yang saya lihat menjadi masalah adalah keengganan dari para akademisi kita untuk mencari tahu apa yang diinginkan oleh para jurnal tersebut.Â
Dari pengalaman saya selama ini, banyak sekali akademisi yang langsung menyerahkan sebuah artikel ke jurnal ilmiah tanpa membaca terlebih dahulu aims and scope dari jurnal ilmiah yang dituju. Menurut Elizabeth Swaaf, marketing communication specialist dari Elsevier yang mengutip para editor terkemuka, para editor dari jurnal ilmiah tidak peduli dengan motivasi seseorang menulis artikel untuk diserahkan ke jurnal ilmiah (misalnya: untuk naik ke jejang jabatan akademik yang lebih tinggi).Â
Namun para editor melihat beberapa hal penting lainnya, yaitu5: (1) adanya kesesuaian topik dengan jurnal ilmiah yang dituju, (2) adanya sesuatu hal yang baru yang menambah ilmu pengetahuan, (3) tidak terkenal isu plagiarisme, dan (4) menggunakan metode yang tepat dan muktahir.
Mari kita buang juga diskusi atau anggapan yang memilah-milah mana yang penting diantara sebuah buku atau sebuah artikel di jurnal ilmiah. Bukankah buku yang baik memuat artikel-artikel di jurnal ilmiah? Seringkali pembaharuan sebuah buku lebih pada studi maupun artikel ilmiah yang terdapat di dalamnya. Tentunya saya sangat setuju sekali bahwa Kemenristekdikti harus memfasilitasi para akademisi agar mereka dapat dibantuk untuk menerbitkan karya mereka di sebuah jurnal internasional bereputasi. Jadi, kembali ke pertanyaan saya, hantukah Scopus?
Referensi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H