Mohon tunggu...
arnanda krismanto
arnanda krismanto Mohon Tunggu... Lainnya - ASN

ASN yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Kompleks Konflik Laut China Selatan dan Implikasi pada Kedaulatan NKRI

15 Mei 2024   12:16 Diperbarui: 15 Mei 2024   12:16 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laut China Selatan (LCS) menjadi fokus ketegangan geopolitik dalam kurun empat dasawarsa terakhir, dengan sengketa wilayah dan klaim maritim yang saling bertentangan menimbulkan tantangan signifikan terhadap stabilitas regional. Kawasan yang berkonflik tersebut, meliputi perairan dan daratan dari gugusan dua pulau besar, yakni Spratly dan Paracels, serta Sungai Macclesfield dan Karang Scarborough yang terbentang dari negara Singapura yang dimulai dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan.

Motif ekonomi dan kedaulatan menjadi latar belakang konflik di LCS. Hal ini seiring temuan bahwa wilayah LCS kaya akan sumber daya alam dan merupakan jalur maritim vital. Wilayah LCS menjadi saksi sengketa wilayah yang berlangsung lama melibatkan beberapa negara, termasuk Tiongkok, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Inti dari konflik ini terletak pada klaim bersaing atas pulau, terumbu karang, dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Tindakan keras Tiongkok, seperti pembangunan pulau buatan dan militerisasi pada beberapa wilayah, telah meningkatkan ketegangan dan menimbulkan kekhawatiran tentang dampak potensialnya terhadap negara tetangga.

Di antara negara-negara yang terpengaruh, Indonesia mendapati dirinya berusaha menjaga keseimbangan iklim geopolitik untuk melindungi kedaulatannya di tengah eskalasi konflik di wilayah maritim yang sangat penting ini. Sebagai informasi, Indonesia menjadi terlibat setelah klaim mutlak Tiongkok atas perairan LCS muncul pada tahun 2012.

AWAL MULA KONFLIK

Beberapa negara di kawasan, terutama Tiongkok, Vietnam, dan Taiwan, merujuk pada klaim sejarah sebagai dasar untuk hak kedaulatan mereka atas LCS. Klaim ini sering kali berkaitan dengan penelitian sejarah, peta kuno, dan catatan sejarah yang dianggap sebagai bukti kepemilikan historis. Tiongkok memiliki sejarah panjang dalam eksplorasi dan penguasaan LCS selama Dinasti Tang (618--907) dan Song (960--1279).

Abad ke-15 dengan semangat 3G (Gold, Gospel, Glory) membawa penjajahan oleh negara-negara Eropa, seperti Spanyol, Portugis, Inggris dan Prancis, memainkan peran dalam menentukan batas-batas wilayah dan klaim di LCS. Penjajahan ini membentuk dasar bagi klaim wilayah modern. Konflik di LCS ini semakin meruncing selama Perang Dunia II. Kala itu, Jepang menduduki beberapa pulau dan wilayah strategis, yang memicu ketegangan dan mempengaruhi klaim wilayah pasca perang. Pasca Perang Dunia II, Traktat San Francisco tahun 1951 membentuk ulang pembagian wilayah di Asia Tenggara.

Namun, tidak semua klaim dan sengketa teratasi, dan beberapa pulau di LCS tetap menjadi sumber ketegangan. Konflik makin meruncing kala Tiongkok merilis peta LCS pada tahun 1947, dengan 9 garis dash dan menyatakan bahwa wilayah yang masuk dalam lingkaran garis tersebut termasuk Kepulauan Spartly dan Paracels sebagai wilayah teritorinya. Peta ini kemudian ditegaskan kembali pada saat Partai Komunis berkuasa pada 1953.

EKSKALASI KONFLIK DAN PERAN UNCLOS

UNCLOS atau United Nations Convention on the Law of the Sea (konvensi hukum laut PBB), memainkan peran penting dalam merumuskan kerangka hukum internasional untuk tata kelola laut dan sumber daya alam di seluruh dunia, termasuk LCS. UNCLOS menetapkan konsep ZEE yang memberikan hak kepada negara-negara pesisir untuk menentukan aktivitas ekonomi di wilayah laut teritorial mereka. Di LCS, klaim ZEE menjadi sumber ketegangan antara berbagai negara yang bersaing untuk hak eksplorasi sumber daya alam, terutama minyak dan gas.

Konvensi juga memberikan hak navigasi bebas kepada semua negara di perairan internasional, termasuk LCS. Ketentuan ini menekankan pentingnya kebebasan navigasi bagi perdagangan internasional dan aktivitas maritim lainnya. Dalam Konvensi juga ditetapkan batas-batas hukum teritorial dan ZEE, yang diharapkan dapat membantu meredakan ketegangan dan memberikan pedoman bagi negosiasi antara negara-negara yang terlibat dalam sengketa di Laut Cina Selatan.

Selain itu, UNCLOS juga menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa, termasuk Pengadilan Arbitrase Internasional. Filipina memanfaatkan mekanisme ini untuk menyelesaikan sengketa teritorial dengan Tiongkok terkait klaim di LCS dan berhasil memenangkan gugatan pada tahun 2016. Meskipun tidak semua negara setuju atau mengikuti keputusan arbitrase, UNCLOS menyediakan platform yang diakui secara internasional untuk penyelesaian sengketa. UNCLOS mempromosikan prinsip pemanfaatan bersama sumber daya laut bersama-sama. Namun, penerapan prinsip ini di LCS menjadi kompleks karena negara yang bersaing dan klaim wilayah yang tumpang tindih.

Tindakan Tiongkok sebagai negara adidaya di Kawasan Asia dalam konflik LCS menyebabkan eskalasi konflik, seperti melibatkan klaim wilayah yang kontroversial, pembangunan pulau buatan, dan kehadiran militer yang meningkat. Sebagai informasi pada tahun 2013, Tiongkok memulai pembangunan pulau buatan di beberapa atol dan terumbu di LCS.

Langkah ini memicu kekhawatiran internasional karena dianggap melanggar hukum internasional, khususnya UNCLOS, yang menetapkan batas-batas wilayah maritim. Selain itu, peningkatan kehadiran militer Tiongkok di wilayah tersebut, termasuk patroli udara dan laut, meningkatkan ketegangan. Negara-negara tetangga dan komunitas internasional secara luas menyuarakan keprihatinan dan menilai bahwa peningkatan ketegangan ini dapat mengancam stabilitas regional.

UPAYA KOLABORATIF DAN IMPLIKASI BAGI KEDAULATAN INDONESIA

Sengketa di LCS dapat memengaruhi kedaulatan maritim Indonesia, khususnya terkait klaim dan batas wilayah laut di sekitar Kepulauan Natuna. Secara garis besar, ancaman bagi Indonesia dapat dikelompokkan dalam tiga aspek. Yakni aspek kedaulatan, aspek keamanan dan aspek ekonomi. Konflik LCS membawa dampak kedaulatan bagi Indonesia, mengingat lokasi strategis Natuna yang memiliki wilayah ZEE dalam area konflik. Ini tentunya berkaitan erat dengan keutuhan wilayah NKRI yang berhubungan secara langsung dengan integritas dan kedaulatan bangsa.

Aspek ekonomi memiliki hubungan erat dengan aspek kedaulatan. Sebagaimana kita ketahui, seiring waktu sumber daya alam khususnya minyak bumi dan gas alam yang kaya di wilayah tersebut menjadi suatu komoditas strategis suatu negara. Belum lagi dengan maraknya kasus illegal fishing yang menjadi isu sensitif pada wilayah konflik LCS menambah kerugian negara dari waktu ke waktu.

Disamping itu, ketidakpastian akibat konflik ini juga dapat berdampak negatif pada iklim investasi dan perdagangan di kawasan. Dapat disimpulkan bahwa Indonesia, sebagai negara dengan kepentingan ekonomi yang signifikan di LCS dapat mengalami dampak ekonomi yang merugikan akibat konflik yang terjadi. Konflik yang berlarut-larut tersebut berpotensi besar menciptakan ketegangan keamanan yang dapat mempengaruhi stabilitas regional. Hal ini juga dapat berdampak pada keamanan nasional Indonesia, mengingat lokasi strategis Natuna dalam kaitannya dengan rute pelayaran dan sumber daya alam.

Terkait hal tersebut, Indonesia secara aktif memperjuangkan kedaulatan dan hak-haknya sesuai dengan hukum internasional, termasuk lewat UNCLOS. Sebagai anggota ASEAN, Indonesia telah memainkan peran penting dalam memediasi konflik dan mempromosikan solusi damai. Indonesia secara aktif terlibat dalam upaya diplomasi dan mediasi untuk mencari solusi damai terkait konflik di LCS.

Sebagai mediator, Indonesia berupaya memfasilitasi dialog antara negara-negara yang terlibat, dengan tujuan mengurangi ketegangan dan mencapai kesepakatan yang dapat diterima semua pihak. Indonesia juga mendukung upaya untuk merumuskan dan menerapkan kode etik di LCS. Kode etik ini diharapkan dapat mengelola ketegangan dan memberikan kerangka kerja bagi penyelesaian sengketa di wilayah tersebut.

Di sisi lain, Indonesia sebagai negara berdaulat terus meningkatkan kehadiran militer dan patroli laut di sekitar Kepulauan Natuna sebagai respons terhadap klaim yang kontroversial. Langkah ini bertujuan untuk menjaga kedaulatan maritim Indonesia dan memberikan sinyal kuat terkait komitmen untuk melindungi wilayah perairan nasional. Indonesia juga secara tegas menolak klaim Tiongkok yang tidak sesuai dengan UNCLOS, terutama terkait dengan klaim teritorial di Natuna. Posisi ini mencerminkan komitmen Indonesia untuk mempertahankan hukum internasional sebagai dasar penyelesaian sengketa.

Secara keseluruhan, peran Indonesia dalam konflik LCS dapat dilihat sebagai implementasi prinsip politik luar negeri Indonesia yakni "bebas aktif", yang menggambarkan pendekatan keseimbangan, dialog, dan diplomasi dalam menjaga keamanan regional dan kepentingan nasionalnya. Prinsip bebas aktif menekankan kemandirian dan kedaulatan nasional.

Dalam konteks konflik LCS, Indonesia berusaha mempertahankan kedaulatannya terutama di sekitar Kepulauan Natuna, menjadi bukti posisi independennya terhadap klaim yang dianggap tidak sesuai dengan hukum internasional. Prinsip bebas aktif Indonesia juga mengandung elemen non-blok yang menekankan keseimbangan global dan ketidakterlibatan dalam aliansi militer. Meskipun Indonesia aktif dalam berbagai forum regional dan internasional, kebijakan ini menekankan netralitas dan keseimbangan di tengah ketegangan global.

Bebas aktif juga mendukung kerjasama ekonomi dan keamanan. Dalam konteks konflik LCS, Indonesia berusaha untuk membangun hubungan kesejahteraan bersama dengan negara-negara tetangga, mempromosikan kerjasama daripada konfrontasi. Dalam menanggapi konflik, Indonesia secara konsisten merujuk pada prinsip-prinsip UNCLOS dan memperjuangkan penyelesaian sengketa melalui jalur hukum dan diplomatis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun