Itulah yang bisa kuceritakan sedikit mengenai perjumpaan kami. Aku sudah tiba di rumahnya. Seperti biasa kondisi rumahnya tampak lengang. Aku coba menelusuri siapa saja yang ada dirumahnya. Kulihat adiknya Eliza, Brian dan Eka sedang bermain bulutangkis. Aku ingin bertanya pada mereka tapi kulihat mereka sedang asyik, agak segan mengganggunya. Jadi kuputuskan beranjak pergi dari kediaman Eliza.
Sebelum kubawa motorku menjauhh dari sana, aku memikirkan tempat biasa Eliza dan kawan-kawannya nongkrong. Seingatku, Eliza dan kawan-kawannya sering nongkrong di LibCafe.
Kafe ini mengusung tema perpustakaan dan kafe. Perpustakaan---tempat untuk membaca dan meminjam buku. Suasananya sunyi dan tertib. Kafe---tempat ngobrol, tempat nongkrong, tempat santai. Selalu ramai dikunjungi khalayak ramai apalagi anak muda. LibCafe meletakkan rak buku yang sudah diisi buku diletakkan di empat sudut cafe. Dinding kafee disarati qoutes atau kata-kata bijak dari tokoh-tokoh terkenal dunia. Permukaan meja hiasi gambar kover novel-novel terkenal di Indonesia dan di dunia.
Pertama kali aku agak janggal mendengar nama kafe ini dari Eliza. Maklum aku pertama kali dengar. Dia mengajakku ke sini sebagai bentuk ucapan terimakasih karena diriku mau mengantarkan motornya ke bengkel. Awalnya aku menolak, namun karena terus dipaksa olehnya, aku mengiyakan ajakannya.
Sudah dua puluh lima menit menempuh perjalanan dari rumah Eliza ke kafe ini. Aku memarkirkan motorku lalu melangkah memasuki bagian dalam kafe. Dan lagi, aku tidak menemukan dirinya di sana. Tak habis pikir. Di mana lagi aku harus mencarinya.
Ketika aku bingung ke mana perginya gadis itu, saraf otakku berdenyut nyeri. Aku merasakan pening-pening menusuk-nusuk otak. Padahal aku tidak sedang berpikir berat. Aku memutuskan pulang dari sana. Esok hari aku akan tanya adik-adiknya dan teman-temannya tempat-tempat yang Eliza sering kunjungi.
***
Aku sudah melalui pendekatan-pendekatan yang panjang pada Eliza. Awalnya aku tidak terlalu tertarik dengan gadis ini. Dia suka menbaca. Aku suka menggambar. Sungguh dua kegemeran yang berbeda. Pernah aku berjumpa dengannya di kantin dan aku menawarkan diri bergabung dengannya. Waktu itu dia sedang membaca novel angkatan tahun 60-70 karya Motinggo Busje. Kubilang padanya kalau seleranya kok jadul banget? Dia berkata bahwa karya sastra tahun 1960-1970 memiliki kualitas tulisan dan gaya bahasa yang unik dan artistik, tidak bisa dilihat lagi di karya sastra jaman sekarang.
Aku mengangguk pelan mendengar penjelasannya.Aku membandingkan hobiku yang senang menggambar. Aku tunjukkan hasil karya-karyaku yang pernah terpampang di mading kampus seperti gambar tokoh-tokoh  dunia, tokoh anime atau kartun, dan bahkan gambar wajah mahasiswa populer di kampusku.
Dia melihat sekilas lalu memberikan sedikit saran dan masukan mengenai hasil gambarku. Saat kudengarkan penuturannya, ternyata gadis itu punya pengetahuan juga dalam hal menggambar. Tapi dia bilang bahwa hasil gambarnya mungkin lebih jelek daripada punyaku. Dia menunjukkan kertas hasil gambarnya padaku. Aku langsung terkesima dengan teknik goresan dan ukiran pensil yang dia torehkan di atas kertas. Kuperhatikan seksama gambar-gambar realis dan  surealis miliknya seperti punya makna abstrak yang tidak semua orang yang melihatnya bisa tahu yang hendak disampaikan oleh sang pelukis. Dari situ aku mulai menganggap dia sebagai partner sekaligus rivalku dalam hal mengggambar.
Hari ke hari, aku mulai intens bertemu dengannya. Aku mencoba belajar untuk menyukai hobi membaca sepertinya. Semua itu juga kulakukan  agar aku bisa berdekatan dengannya. Agar aku bisa menghabiskan waktu dengannya.