Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Resah

20 Maret 2019   15:46 Diperbarui: 20 Maret 2019   16:06 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Langit jingga sudah menggantikan langit biru. Itu menandakan senja dan malam sudah bersamaan kedatangannya. Tapi senja satu ini punya kesan tersendiri bagi kami. Aku mengantarkannya pulang  ke rumah karena taman kota sudah berangsur-angsur sepi. Kami beranjak dari bangku taman menuju tempat parkir sepeda motor yang terlihat semakin sepi. Jika hari semakin malam, taman ini sekilas seperti taman hantu. Meski terpasang lampu taman, nyalanya tak terlalu terang. Bisa dibilang samar-samar. Ditambah lagi saat ini sedang masuk musim gugur. Dedaunan memenuhi jalan-jalan setapak di taman ini. Aku mengusap-usap tengukku yang dingin.

***

            Dua minggu berlalu sudah sejak kami jalan berdua. Komunikasi kami masih berjalan dengan baik. Sering mengobrol via whatsapp atau video call tapi keanehan itu datang saat memasuki minggu ketiga. Dia sering terlambat membalas pesan whatsapp. Kalau lima sampai sepuluh menit, aku masih maklum. Ini sampai satu jam pesan whatsapp-ku ditelantarkannya.

            Merespons keanehan ini, aku membuat janji padanya untuk bertemu. Tapi selalu saja ada alasan dibuat-buat Risa. Dia bilang ada kerja lemburlah. Banyak kerja kelompok dengan temannya. Ya memang Risa masih anak kuliah semester 6 dan dia juga kerja sebagai costumer service di salah satu perusahan telekomunikasi. Aku memang sudah maklum dengan kesibukan dirinya di lingkungan kerja dan kampus. Tapi yang membuatku bertanya-tanya, mengapa dia menolak panggiilan video dariku dan mengapa dia memblokir whatsapp-ku?

            Kuberanikan diri mendatangi rumahnya. Mio tungganganku sedang melintas pagar rumahnya. Tapi kulihat wanita paruh baya sudah berdiri di depan gerbang. Ia berdiri dengan melipat kedua tangan di dada. Aku tiba di depan wanita itu. Dia menanyakan apa siapa aku dan apa tujuanku ke sini. Aku menjawab dengan santun bahwa kedatanganku ke sini untuk bertemu dengan dirinya. Dan aku mengutarakan bahwa aku adalah pacar Risa dan berencana menikahinya pada bulan Juni nanti.

            Namun respons yang kudapat dari ibunda Risa adalah suara tawa mengejek. Tidak bisa kubayangkan betapa sakit kurasaketika perempuan itu bilang bahwa putrinya akan dinikahkan dengan seorang pengusaha elektronik. Lelaki itu Yoga. Ibunya berkata pernikahan itu sudah lama direncanakan ketika Risa berumur tujuh belas tahun. Pernikahan itu juga didasari atas utang budi keluarga Risa karena keluarga Yoga memberikan pinjaman sebesar lima ratus juta menutupi pembayaran pegawai di toko usaha ulos.

            Aku benar-benar tidak bisa menerima alasan itu. Aku mencoba menerobos masuk tapi ada satpam menghalau. Perempuan paruh baya itu memarahi sambil memaki-maki. Melihatku yang tidak peduli dengan omongannya, ibunda Risa berteriak sambil berkata 'tolong ada maling'. Itu hampir diucapkan dua kali. Aku yang tidak mau membuat keadaan semakin kacau, memilih mundur. Aku langsung menghidupkan mesin sepada motor lalu melipir, meninggalkan pekarangan rumah Risa. Akan tetapi, ketika aku menoleh ke arah rumahnya, aku sekilas melihat Risa yang juga membuka gorden. Aku yakin dia menyadari kedatanganku dan pasti ingin bertemu. Tapi tak ingin membuat keadaan semakin runyam, Risa memilih untuk mengurung diri di kamar. Ya, aku yakin.

***

            Aku makin tak karuan menjalani aktivitasku. Aku lebih sering melamun, Memikirkan apa kelanjutan hubungan ini. Aku tidak mungkin mengakhiri begitu saja. Banyak dan terlalu banyak kenangan yang kulalui dengannya. Aku tidak bisa menyebutkan satu per satu tetapi kenangan jalan berdua di taman itu mungkin tidak akan terulang kalau ini kuakhiri begitu saja.

            Sekali lagi kutegaskan pada diriku sendiri, itu tidak mungkin. Selain kenangan, aku sudah terlalu banyak berkorban untuknya. Waktu, perhatian tenaga apalagi uang. Lagi, apa yang akan kudapatkan kalau aku melepasnya begitu saja? Aku bisa jadi lelaki terbodoh sedunia kalau aku merelakan dirinya dengan yang lain. Dan perlu kau tahu, hanya pada perempuan inilah aku tidak sampai hati untuk berbuat terlalu jauh. Paling jauh hal yang pernah kami lakukan adalah berciuman. Namun tidak ada birahi dalamnya. Aku tulus mencintainya. Tapi yang paling aku takutkan---aku tidak lagi melihat senyum indah itu.

            Lamunanku sudah menembus langit ketujuh. Sampai-sampai aku tidak merasakan kehadiran seorang nasabah di depanku. Melihatku yang tak jua merespon, ia nyaris meninggalkanku. Aku cepat-cepat memanggilnya kembali ke tempatku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun