Apa itu Major Depressive Disorder ?
Ketika kita merasa sedih seringkali kita menganggap hal itu sebagai depresi. Sebenarnya merasa sedih adalah hal yang wajar kita rasakan. Hal yang dapat menjadikan seseorang mengalami depresi adalah rasa sakit psikologis hebat yang berlangsung lama dan mungkin semakin lama akan bertambah parah. Semua gangguan depresi akan berpengaruh negatif dan menurunkan kualitas hidup orang yang mengalaminya. Di tahun 2030, Major Depressive Disorder diprediksi menjadi salah satu penyebab terganggunya fungsi global manusia, setara dengan penyakit jantung dan HIV/AIDS (Mathers & Loncar, 2016).
Major Depressive Disorder (MDD) lebih banyak terjadi ketika usia remaja dan dewasa awal. MDD termasuk gangguan mood unipolar. Artinya, untuk didiagnosa mengalami MDD, seseorang harus mengalami setidaknya satu atau lebih Major Depressive Episode (MDE). Berbeda dengan gangguan mood bipolar yang penderitanya mengalami baik episode depresi maupun manik.
 MDE berlangsung selama dua minggu atau lebih dan individu akan menderita beberapa atau semua gejala-gejala berikut:
- Dibanjiri perasaan sedih atau marah yang terus menerus
- Merasa bersalah dan tidak berharga
- Kehilangan minat dalam beraktivitas bahkan yang sebelumnya digemari dan minat sosial berkurang
- Mudah lelah
- Sulit fokus atau mengalami keputusasaan
- Mengalami perubahan pola makan (makan tidak teratur atau makan terlalu banyak)
- Berulang kali bersikap untuk bunuh diri atau mati
- Agitasi Motorik (peningkatan aktivitas motorik yang hebat) atau retardasi psikomotorik (penurunan kualitas gerak motorik)
Â
Terdapat pula ciri-ciri spesifik orang yang mengalami MDD:
- Perubahan Keadaan Emosional : Perubahan Mood (merasa murung, sedih dan berkabung), cepat marah dan temperamen
- Perubahan Motivasi : merasa tidak termotivasi, menurunnya minat terhadap kegiatan sosial, berkurangnnya minat terhadap seks dan gagal untuk merespon pujian
- Perubahan pemfungsian dan perilaku : perilaku respon terhadap rangsang motorik yang menjadi lambat dari biasanya, perubahan pola atau kebiasaan tidur
- Perubahan kognitif : sulit konsenterasi dan berpikir jernih, berpikir negatif tentang diri sendiri dan masa depannya, selalu merasa bersalah, harga diri rendah, berpikir untuk mati atau bunuh diri
Â
Bagaimana Major Depressive Disorder dipahami?
KONTEKS BIOLOGIS
Para peneliti percaya bahwa keturunan memainkan peran penting dalam MDD. Namun, genetis bukanlah satu-satunya faktor determinan dari MDD, juga bukan faktor determinan yang paling penting. Faktor-faktor lingkungan, seperti pemaparan terhadap peristiwa hidup yang penuh tekanan, tampaknya memainkan peran yang hampir sama besarnya dibandingkan genetis. Tampaknya MDD adalah suatu gangguan yang kompleks yang disebabkan oleh suatu kombinasi dari faktor-faktor genetis dan lingkungan. Faktor-faktor genetis dapat memainkan peranan yang lebih besar dalam menjelaskan gangguan bipolar daripada depresi unipolar (Krehbiel, 2000).
Data dari hasil studi fMRI dan PET menunjukan bahwa ada empat bagian otak yang berhubungan dengan depresi (Koenigs & Grafman, 2009).
- Amigdala, menghasilkan reaksi emosi yang memicu otak untuk bertindak
- Orbitofrontal cortex, bertanggung jawab dalam proses kognitif dan pengambilan keputusan, memberi makna logis terhadap rangsang/stimulus.
- Dorsolateral prefrontal cortex, regulasi afek, perencanaan, pengambilan keputusan, dan pertimbangan sosial
- Anterior cingulate cortex, deteksi kesalahan, antisipasi tugas-tugas, motivasi dan mengatur respon emosi
Keempat bagian tersebut bekerja sebagai sebuah sistem dan ketika ada salah satu yang tidak bekerja dengan baik, peluang berkembangnya depresi meningkat. Depresi adalah gangguan yang heterogen di mana orang-orang yang didiagnosa sama, tampilan klinisnya mungkin sangat berbeda.
Selain itu, para klinikus menganggap bahwa depresi disebabkan oleh kurangnya dua neurotransmitter yaitu norepinephrine dan serotonin. Namun sekarang ditemukan bahwa penyebabnya bukan kekurangan melainkan disregulasi kedua neurotransmitter tersebut (Moore & Bona, 2001)
Neuroendokrinologi juga menambahkan mengenai hubungan depresi pada orang dewasa dengan pemfungsian sumbu HPA (Hypothalamic-pituiary-adrenal) selama 40 tahun terakhir ini (Lopez-Duran, Kovacs, & George, 2009). Sumbu HPA adalah sistem neuroendokrin yang mengatur proses-proses tubuh termasuk respon stres sehingga sumbu HPA yang abnormal terlibat dalam banyak gangguan psikiatri terutama MDD (Pariante & Lightman, 2008). Banyak bukti juga menunjukan berlebihannya kadar hormon kortisol pada penderita depresi.
KONTEKS PSIKOLOGIS
Dalam teori psikodinamik depresi adalah kemarahan yang diarahkan kepada diri sendiri bukan terhadap orang-orang yang dikasihi. Rasa marah itu akibat dari kehilangan orang-orang yang dikasihi atau ancaman akan kehilangan orang-orang yang dikasihi.
Kemarahan yang menjadikan seseorang depresi adalah rasa berduka yang patologis karena individu tersebut memiliki perasaan ambivalen yang kuat (suatu kombinasi dari perasaan positif (cinta) dan negatif (marah, permusuhan) terhadap orang yang telah pergi atau yang ditakutkan kepergiannya. Perasaan marah tersebut diikuti oleh rasa bersalah sehingga itu mencegah individu untuk mengarahkan rasa marah secara langsung terhadap suatu objek (orang yang dikasihi).
Freud berhipotesis bahwa seseorang yang kehilangan orang yang dikasihinya atau ditakutkan kepergiannya pertama kali ia akan mengintroyeksi atau membawa ke dalam diri (suatu representasi mental) orang yang meninggalkanya lalu setelah itu kemarahan diarahkan kepada dirinya sendiri (self) sehingga seseorang merasa benci terhadap dirinya sendiri (self-hartred) yang nantinya akan mengakibatkan depresi.
Depresi juga berhubungan dengan variabel-variabel kognitif individu. Ketika berhadapan dengan stressor, orang yang pernah gagal memecahkan masalah dan merasa putus asa lebih besar kemungkinan mengalami depresi. Cara penanggualangan masalah juga ada pengaruhnya, orang yang menggunakan cara aktif dalam memecahkan masalah lebih kecil kemungkinan terkena depresi daripada yang menghindari masalah. Depresi juga bisa terjadi karena kurangnya kejadian menyenangkan atau sebaliknya, terlalu banyak kejadian tidak menyenangkan terjadi
Ketika hidup seseorang yang merasa penuh tekanan, ia akan menarik diri dari dunianya dan merasa rutinitas dadsar kehidupannya menjadi kacau. Kekacauan ini bisa meningkatkan gejala depresi dan memnuat orang sulit memecahkan masalah hidupnya secara efektif. Pada saatnya, hal ini akan menyebabkan masalah-masalah sekunder seperti hubungan sosial dan kesulitan kerja yang dapat mempertahankan bahkan memperburuk depresi
Beberapa studi menunjukan bahwa kebanyakan episode depresi didahului oleh kejadian hidup yang berat enam bulan sebelum permulaan episode (Kendler & Gardner, 2010). Kapuci dan Cramer (2000) menemukan juga bahwa orang lebih mungkin terkena depresi ketika terekspos pada banyak kejadian hidup yang negatif, tapi hanya jika keyakinan merasa akan kemampuan menanggulanginya lemah.
Seligman mengembangkan teori learned helplessness dari depresi yang menyatakan bahwa orang akan menjadi depresi ketika mereka tidak berdaya mengendalikan reinforcement dalam hidupnya dan merasa bersalah atas ketidakberdayaan tersebut. Jadi, interaksi antara kejadian hidup negatif, kemampuan menanggulangi dan atribusi mengenai kemampuan coping seseorang berpengaruh terhadap kemungkinan seseorang mengalami depresi.
Â
KONTEKS SOSIOKULTURAL
Peristiwa-peristiwa yang dialami dalam konteks sosial dapat menyebabkan individu mengalami gangguan depresi mayor. Salah satu penyebabnya adalah tekanan sosiokultural yang hebat yang dapat memiliki efek yang menekan dengan menurunkan aktivitas neurotransmitter dalam otak. Selain itu bagaimana kemampuan coping individu juga mempengaruhi bagaimana tekanan dari sosiokultural dapat diatasi misalnya pada orang yang dapat menerima dukungan emosional dari orang lain mungkin lebih mampu untuk menghadapi efek-efek dari stres daripada mereka yang harus menghadapinya sendiri.
Ketidakpuasan pernikahan dapat menjadi penyebab depresi juga. Hidup bersama seseorang yang selalu negatif, berwatak buruk, dan pesimistis lama kelamaan akan terasa melelahkan. Oleh karena emosi itu menular, pasangan mungkin akan mulai merasa buruk juga. Interaksi semacam ini akan menyebabkan adu argumen atau bahkan kepergian pasangan (Joiner & Timmons, 2009; Whisman, Weinstock, & Tolejko, 2006). Bagaimanapun, MDD lebih banyak diderita oleh wanita daripada pria karena wanita lebih cenderung berhadapan dengan stresor psikososial yang tidak dialami pria dan kemauan wanita dalam menanggulanginya juga tidak sekuat pria.
Penelitian juga menunjukkan bahwa status sosioekonomi dan pemaparan terhadap trauma yang berhubungan dengan rasisme, kehidupan perkotaan, dan masalah finansial, berkorelasi dengan depresi dan penyakit mental lain (Caron & Liu, 2010; Gottlieb, Waitzkin, & Miranda, 2011; Kiima & Jenkins, 2010; Rhodes et al., 2010).
Walaupun begitu, tingkat depresi pada orang Asia relatif lebih rendah karena kecenderungan orang Asia mengacuhkan gejala afeksi dari depresi dan lebih mengandalkan gejala somatis.
Depresi berhubungan juga dengan kecenderungan bunuh diri. Walalupun berkorelasi tinggi, namun keduanya berdiri masing-masing. Orang dengan depresi tidak selalu melakukan bunuh diri, begitupun sebaliknya, orang yang bunuh diri belum tentu mengalami depresi. Orang depresi merasa dirinya merupakan beban bagi orang lain dan berkurangnya rasa dimiliki menyebabkan putus asa sampai akhirnya bunuh diri. Tingkat terjadinya bunuh diri tertinggi adalah di Cina, terutama pada wanita pedesaan. Bunuh diri dianggap solusi masalah finansial yang paling masuk akal.
PREVENSI
- Prevensi Primer
Salah satu cara untuk mereduksi masalah akibat MDD adalah dengan meminimalisir arus terjadinya kasus MDD baru melalui pencegahan. Penyuluhan-penyuluhan mengenai gambaran diri positif dapat menjadi salah satu usaha pencegahan MDD, terutama pada remaja yang berada pada usia rentan timbulnya depresi. Kemudian dapat dilakukan juga penguatan faktor-faktor protektif seperti lingkungan sosial, kognitif, atau kemampuan problem-solving seseorang. Penting juga untuk lebih sadar akan gejala yang terjadi. Ketika gejala MDD mulai dirasa muncul pada individu, cobalah untuk meredakan gejala tersebut (Kim van Zoonen, dkk. 2014). Pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga pola tidur yang baik, mencari kegiatan yang menyenangkan, berbicara pada orang yang mengerti perasaan kita, mencari lingkungan yang sehat di mana terdapat orang-orang yang peduli dan berpikiran positif dan menghindari konsumsi minuman beralkohol dan obat-obatan terlarang karena mengandung depresan. - Prevensi Sekunder
Ketika seseorang didiagnosis MDD, hal pertama yang dokter lakukan adalah memberi resep obat antidepresan. Biasanya dokter memberi obat antidepresan. Mungkin hanya satu jenis, mungkin juga dikombinasikan. Pengobatan ini dimaksudkan untuk meredakan gejala-gejala psikologis dengan cara memperbaiki ketidakseimbangan neurotransmitter. Pada dasarnya, obat-obat sebagai bentuk usaha melawan proses terjadinya psikopatologi secara biologis. Antidepresan yang mungkin diberikan misalnya bupropion, MAOI (monoamine oxidase inhibitor), TCA (antidepresan trisiklik), T3 (L-triiodotironin), litium karbonat, serta stimulan-stimulan seperti Dexedrine dan Ritalin.
Selain dengan obat-obatan, terapi psikologis juga dapat dilakukan. Terapi Kognitif-Keperilakuan (Cognitive-Behavioral Therapy) dari Aaron T. Beck adalah yang paling dikenal. Terapi ini akan mengajarkan individu untuk melawan rasa atau pemikiran negatif terhadap dirinya. Klien akan diajarkan untuk bagaimana melihat suatu pola depresi dan hal-hal apa saja yang akan memicu gangguan depresi lebih parah. Kemudian klien akan juga diajarkan bagaimana pemecahan suatu masalah yang memicu gangguan depresi. CBT biasanya dilakukan sebanyak 15-20 sesi. Selain CBT, terapi dengan pendekatan psikoanalisis juga dapat digunakan yaitu dengan mencoba memberikan insight pada individu mengenai peristiwa kehilangan pada masa kanak-kanak dan hubungannya dengan ketidakmampuan serta sikap menyalahkan diri sendiri di masa dewasa. - Prevensi Tersier
Setelah individu terbebas dari episode depresi, upaya-upaya yang rehabilitatif harus dilakukan. Hal ini dilakukan sebagai upaya pencegahan terjadinya lagi episode depresi sehingga kesehatan mental individu dapat kembali ke kondisi normal. Biasanya, pemberian obat dan terapi psikologis yang sudah dijelaskan di atas tetap dilakukan. Selain itu, ada juga Psikoterapi Interpersonal (IPT) yang dikembangkan oleh Myrna Weissman dan Gerald Klerman yang berfokus pada pemecahan masalah interpersonal ketika mengalami MDD dan belajar membentuk pola hubungan interpersonal yang baru dan penting. Penelitian menunjukkan, terapi-terapi psikologis lebih dapat diandalkan untuk mencegah terjadinya kembali episode depresi
Â
Penulis adalah mahasiswa fakultas psikologi Universitas Islam Bandung :
- Army Refado (10050013165)
- Nyimas Siti Intan S. (10050013183)
Â
Â
DAFTAR PUSTAKA
 Comer, Ronal J. (2014). Fundamentals of Abnormal Psychology Seventh Edition. New York: Worth Publishers.
 Davidson, Gerald C., Neale, John M., dkk. (1990). Abnormal Psychology, Fifth Edition. 1990. New Jersey: J. Wiley & Sons.
 Durand, V. Mark, Barlow, David H. (2013). Essentials of Abnormal Psychology Sixth Edition. Belmont: Wadsworth.
 Feliciano, Leilani, Renn, Brenna N. (2014). Mood Disorders: Depressive Disorders dalam Adult Psychopathology and Diagnosis Seventh Edition. New Jersey: J. Wiley & Sons.
 Wiramihardja, Sutardjo A. (2007). Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H