Saya tinggal di Ruteng tetapi Pede adalah pantai menyenangkan di Labuan Bajo, karena pada puncak Sail Komodo 2013 saya bersama teman-teman teater saya bermain di sana di hadapan orang-orang penting. Alasan ini betapapun personalnya tetap saya sampaikan juga sebagai satu dari sekian alasan mengapa saya bersimpati dan mendukung gerakan Save Pede ini.
O iya, baik rasanya bercerita sedikit tentang Labuan Bajo. Ini di Flores dan pulau ini adalah bagian dari provinsi Nusa Tenggara Timur atau NTT. Labuan Bajo adalah ibukota Kabupaten Manggarai Barat. Mengapa penting bercerita tentang ini? Karena saya baru pulang dari Jogjakarta dan seorang teman yang saya temui di sana menduga bahwa Flores itu di Sulawesi. Ini tebakan terjauh tentang kampung kami. (Baca kisah lengkapnya di sini).
Nah setelah mengetahui gambaran umum ini, mari kita bicara lagi tentang Pede. Sesungguhnya hal ikhwal gerakan Save Pede bertebaran di samudra on line kita. Hanya saja agar lebih mudah membaca tulisan ini baiklah saya merangkum dengan singkat saja tentang gerakan Save Pede: Sebuah Pesan dari Labuan Bajo.
Pantai Pede adalah satu-satunya pantai tersisa di Labuan Bajo yang dapat diakses oleh publik secara bebas sampai beberapa waktu lalu ketika seorang pengembang berniat membangun hotel mewah di tempat itu. Izinnya telah dia kantongi dari pemerintah provinsi. Tentang ini bisa dimaklumi karena setelah pembagian wilayah Manggarai menjadi dua kabupaten beberapa tahun silam yakni Manggarai dan Manggarai Barat (sekarang Manggarai menjadi tiga yakni Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur) ada 'sedikit soal' tentang aset daerah. Jadilah Pede berada di bawah pemerintah provinsi NTT. Maka demikianlah selanjutnya, izin itu diberikan kepada pengembang yang serentak memagari pantai Pede sebagai area privat.
Semua tersentak. Berubahnya Pede menjadi area milik orang-orang tertentu sama artinya dengan habislah sudah wilayah bersama atau ruang publik yang dekat dengan kota di Labuan Bajo. Sebelumnya, semua pantai telah dikuasai oleh para pengusaha yang membangun hotel dan seluruh fasilitasnya sampai ke bibir pantai. "Kami akan bermain di mana?" "Apa baiknya bermain di pantai di bawah pengawasan SATPAM hotel?" "Bagaimana ini?"
Aneka pertanyaan tersebut muncul dengan segera dan melahirkan respon yang baik. Kawan-kawan peduli di Labuan Bajo langsung menggagas Save Pede. Bololobo Community menjadi bagian penting dari gerakan ini. Alasan mereka tentu saja tidak sederhana saya yang pernah punya kenangan melakolis tampil di depan presiden. Ada begitu banyak hal yang menjadi dasar gerakan Save Pede ini. Mulai dari sosial, ekonomi, politik, budaya sampai pada pendasaran historis.
Nama Pede tidak begitu saja disematkan di pantai itu dahulu. Saya mendengar cerita seksi tentang penamaan ini. Di suatu masa di zaman dahulu kala, di tempat inilah para ibu dan istri berpisah dengan suami mereka yang akan diangku ke tempat jauh oleh penjajah. Mereka saling memberi pesan perpisahan juga sebagian dari mereka berpesan tentang janji setia. Dan Pede adalah kata bahasa Manggarai yang berarti pesan. Ini cerita yang seksi menurut saya.
Perihal kebenaran cerita mungkin memang harus ditelusuri dengan lebih sungguh lagi, tetapi cerita kecil itu saja sudah cukup membuat saya mendukung gerakan Save Pede. Ada kisah yang tidak boleh dihapus dari ingatan. Dan kisah itu adalah tentang pesan, tentang Pede. "Di'a-di'a meu musi mai. (Baik-baiklah nasibmu saat kami tinggal). Cumang no'o kole ite cepisa (kita akan berjumpa lagi di pantai ini)". Itu kira-kira yang saya bayangkan tentang situasi romantis di sana di zaman dahulu kala itu. Ada pesan tentang harapan.
Karena manusia hidup dari harapan, maka sesungguhnya menghilangkan titik tempat mereka menyemainya adalah menghapus hidup. Ah, ini kesimpulan yang serampangan.
Maksud tulisan saya ini sesungguhnya adalah: Pantai Pede itu sebenar-benarnya Natal Labar (taman bermain) bagi kami yang tidak mampu membayar mahal untuk masuk ke kawasan-kawasan privat di Labuan Bajo. Menjadikannya sebagai kawasan privat yang baru berarti menghilangkan taman bermain. Siapakah kita tanpa taman bermain? Ketika dunia ini kehilangan tempat-tempat bermain, saya menduga kita akan menjadi orang-orang yang terlampau serius. Apa indahnya hidup dengan keseriusan seumur hidup?
Telah banyak tempat publik yang dikelola kelompok-kelompok tertentu dan kelompok-kelompok itu menjadi kaya. Saya tidak menentang niat menjadi kaya. Tetapi menjadi kaya dengan memungut dari orang-orang yang seharusnya berhak penuh atas tempat itu adalah kejahatan. Penyerobotan lahan termasuk dalam bagian ini. Saya enggan bicara tentang sisi hukum. Domain saya adalah berjuang untuk ruang bermain. Saya dan sekian banyak orang merasakan sungguh tentang dampak belajar sambil bermain.
Di Pede kami bermain teater dan kami belajar lebih baik dari situ. Di Pede, kawan-kawan di Labuan Bajo bermain, menghasilkan sampah lalu belajar memungut sampah yang mereka hasilkan itu dengan ramain-ramai membersihkan pantai. Dan terutama, di Pede kami bertemu dengan banyak orang; siapakah kita tanpa kehadiran orang lain?
Jangan jadikan pantai kami sebagai pantai pribadi. Save Pede: Sebuah Pesan dari Labuan Bajo. Kau bisa singgah sejenak di sini sambil merancang perjalanan ke destinasi wisata yang lain seperti Pulau Komodo, Batu Cermin, Pantai Merah Muda dan yang lain. Di Pede, ada pesan tentang itu: suatu saat kita bertemu lagi di titik ini, membiarkan wajah dipapar angin dan rambut berkibar-kibar. Tak baik mengikat rambut ketika bermain di pinggir pantai; kau mengekang kebebasannya.
Dukung gerakan kawan-kawan di Labuan Bajo dengan menandatangani petisi ini: Cabut Izin Privatisasi Pantai Pede Labuan Bajo.
Salam hangat
Armin Bell
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H