Mohon tunggu...
ARMIKO GERRY AFANDY
ARMIKO GERRY AFANDY Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Armiko Gerry Afandy. lahir di Trenggalek, bercita-cita menjadi seorang sastrawan, sastrawan yang menuangkan alam semestanya dalam karya-karya abadi dalam bentuk teks, termasuk ideologi yang dianutnya. Ada banyak orang cerdas yang setinggi langit, tapi selama mereka tidak menulis, mereka akan hilang dalam sejarah. Menulis merupakan salah satu bentuk pengungkapan perasaan yang akan bertahan selamanya, karena tulisan dan politik akan menjadi seni mewujudkan yang tidak mungkin menjadi mungkin dan memperjuangkan kelas sosial.

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Vox Populi Vox Dei", The Role Of Think Demokrasi ala Bambang Pacul

4 Oktober 2024   18:09 Diperbarui: 4 Desember 2024   10:03 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilu 2024 menimbulkan pertanyaan apakah demokrasi bisa dikembangkan sebagai bagian yang kuat dari sistem politik Indonesia. Beberapa akademisi dan aktivis menyampaikan kekhawatiran terhadap penurunan demokrasi yang terlihat dalam tindakan politik yang melibatkan kekuasaan. Demokrasi dianggap sebagai konsep Barat yang tidak sepenuhnya sesuai dengan budaya Indonesia.

Hal ini karena kita juga masih menghadapi masalah persamaan di depan hukum, salah satu prinsip utama demokrasi. Tidak hanya banyak pelanggaran berat masa lalu yang tidak diproses secara hukum (apalagi secara adil), tetapi juga banyak penyalahgunaan kekuasaan menjadi manuver politik yang tidak mendapatkan penegakan hukum yang kuat. Di sini, penting untuk memahami spektrum demokrasi yang tidak hanya terbatas pada kebebasan berbicara di internet yang sudah berkembang dengan baik.

Bambang 'Patjul' Wuryanto, seorang politisi dari Partai PDI Perjuangan, kerap menggunakan istilah Korea dalam percakapannya. Menurutnya, istilah Korea yang berkembang di Jawa terhubung dengan pasukan Jepang yang berasal dari Korea. Pasukan Korea tidak sekuat tentara Jepang, tetapi memiliki semangat yang tinggi, meskipun negaranya dijajah Jepang. Istilah "Korea" digunakan untuk merujuk pada tentara cadangan yang kurang dihargai, serta politisi dari kalangan bawah yang harus berjuang keras untuk mencapai posisi tinggi dengan militansi yang tinggi pula.

Orang Korea merupakan individu yang berani dan nekat dari lapisan masyarakat yang rendah, serta memiliki beragam cara untuk bertahan hidup. Mereka enggan tetap tinggal di dalam kemiskinan dan hanya ingin satu hal: naik ke tingkat atas. Mengapa demikian? Karena Korea tidak suka menyalahkan keadaan. Ia menerima nasibnya dilahirkan di mana,
dari bapak-ibu siapa, dalam kondisi seperti apa pun. Ia menerima kelahirannya dalam kemiskinan dan sebagai orang Korea.

Dengan demikian, ia menyadari perlu memperbaiki dan mencapai hal-hal bagi masyarakat Korea, yang tidak mudah terwujud. Dengan keterbatasan uang, minimnya relasi pertemanan, dan ketiadaan akses pendidikan, proses untuk melenting tentu saja tidak mudah. Oleh sebab itu, para Korea harus melangkah terlebih dahulu, mencapai tempat di mana mereka dapat mewujudkan keinginan mereka di masa depan.

Mengenali diri merupakan langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang "Korea" agar dapat melangkah dan mewujudkan keinginan. Apakah ia tertarik dalam bidang pendidikan, keuangan, atau kekuasaan? Dari pengenalan tersebut, ia dapat menentukan jalur melenting. Anda dapat mencapai status "korea" tulen melalui pendidikan yang tinggi, membangun bisnis, atau terjun ke partai politik. Dalam mengelola asetnya, Korea Tulen akan menggunakan ilmu pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan.

Dia menyadari pentingnya ilmu sebagai pondasi yang krusial. Dengan peran pentingnya dan pengetahuannya yang luas, dia mungkin memiliki banyak anak buah. Ia harus menjadi pemimpin yang adil. Dalam budaya Jawa, seorang pemimpin harus memiliki tiga hal penting: ngayomi (memberikan rasa aman), ngayemi (memberikan rasa nyaman), dan ngayani (menguatkan).

Para "korea" yang pernah merasakan kesulitan sebagai bawahan seharusnya tahu bagaimana cara memperlakukan anak buah dengan baik. Tidak hanya mengancam dan memerintah tanpa alasan, "korea" akan memberikan perlindungan, kenyamanan, dan dukungan kepada bawahannya. Orang-orang dengan mentalitas "Korea" telah mengalami berbagai rintangan dalam hidup, termasuk kemiskinan ekstrem dan penghinaan yang menyakitkan. Semua itu merupakan pelajaran dan pengalaman yang akan memperkuatnya.


Kesimpulannya, sebaiknya mentalitas Korea berada di tengah idealisme demokrasi, mengingat tantangan kompleks yang muncul. Masyarakat demokratis harus menghadapi dinamika politik yang rumit, seperti polarisasi, populisme, dan ketidaksetaraan. Oleh karena itu, untuk mempertahankan dan memperkuat demokrasi, diperlukan komitmen yang berkelanjutan dari semua warga negara untuk melindungi nilai-nilai demokratis dan memperjuangkan keadilan serta kesetaraan bagi semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun