Mohon tunggu...
Armei Bee
Armei Bee Mohon Tunggu... -

Penulis roman, thriller dan horor

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Stroberi Sweet - Bab 2 - 1

25 Mei 2012   02:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:50 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita sebelumnya bisa dilihat di sini: http://fiksi.kompasiana.com/novel/2012/05/18/stroberi-sweet-bab-1/

Cerita ini tayang setiap hari Jum'at.


===========

“Sumpah, semalem itu ada yang jegal kaki gue!” kata Dewi saat mereka sarapan.

Helen yang duduk di sebelahnya mengangguk menyetujui. Ia telah melihat dengan mata kepalanya sendiri muka Dewi yang seperti kehabisan darah plus over bleaching. Itu tidak mungkin dibuat-buat. Lagi pula, sebelum suara berdebum dan lampu mati, Helen juga seperti melihat bayangan berkelebat. Namun ia tidak menceritakannya karena tidak yakin betul. Bisa jadi cuma firasatnya saja.

Teman-temannya yang mengelilingi meja kayu jati persegi panjang itu menatap Dewi dan menunggu kelanjutan ceritanya. Pagi ini, tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, suara tawa tidak terdengar namun suara dentingan sendok dan gelas mengalun lebih sering dari biasanya.

“Terus, lu liat ada penampakan apa gitu?” Tanya Puspa yang duduk di seberang Dewi sambil mengaduk-aduk gelas tehnya. Puspa melakukannya sejak Dewi mulai bercerita. Untunglah minuman malang itu teh, kalau saja susu mungkin sudah jadi keju.

Dan Puspa tidak sendirian. Sepuluh peserta final audisi Strobery Sweet yang mengelilingi meja makan, tidak ada yang benar-benar menikmati sarapan. Mereka hanya mengaduk-aduk gelas atau mengoles-oles roti tanpa ada yang minum apalagi makan. Selera makan mereka seperti masih tertinggal di tempat tidur, padahal di atas meja sudah mengantri aneka makanan dan minuman: mulai dari roti sampai nasi goreng, mulai dari kopi sampai jus orange.

“Kok semalam lampu bisa mendadak mati, ya?” Tanya Diandra yang duduk di sebelah Puspa. “Ngga ada masalah sama listrik apartemen kan?”

Helen memandang Dewi yang tidak berkedip mendengar pertanyaan itu. Namun baik Helen, Dewi, ataupun teman-temannya yang lain tidak ada yang bersuara menjawab. Pertanyaan itu seolah hal tabu yang dilarang para orangtua untuk dibicarakan saat makan.

Pagi ini sebenarnya hal itu sudah Dewi tanyakan kepada Pak Usman, pengurus apartemen. Dan Pak Usman juga sudah memeriksa. Tidak ada masalah dengan listrik apartemen. Bapak berkumis yang ramah itu bahkan sempat menanyakannya kepada para tetangga. Mereka bilang tidak ada yang mengalami pemadaman listrik semalam. Jadi hanya apartemen mereka yang mengalami mati selama sekitar satu menit.

“Mungkin listriknya ngga stabil, Non,” kata Pak Usman.

Listrik tidak stabil. Yah, apalagi kemungkinannya. Sebenarnya ada kemungkinan yang lain. Dan kemungkinan-kemungkinan itu berkembang dengan cepat di kepala para peserta audisi tanpa ada yang berani membahasnya.

***

Saat latihan vokal di siang hari, kecuali Helen, peserta lainnya seperti linglung. Dewi bahkan sempat lupa lirik lagu “Kill you, Boy”. Padahal itu lagu favoritnya.

Mendapati hal itu, Cok Huda—sang pelatih vokal—mencak-mencak  seperti nenek-nenek kehilangan gigi palsunya. Ia berulang kali menggaruk kepalanya setiap mendengar suara sumbang. Setelah tidak dapat menahan lagi gelombang amarah yang seperti meninju-ninju kepalanya, ia pun mengumpulkan para abg itu di dekat panggung.

Kesepuluh gadis cantik itu berdiri mengelilingi Cok Huda dan menunggu dalam diam.

“Perhatian semua,” kata Cok Huda. Ia diam sesaat menarik napas, “Ini sudah minggu kedua. Di akhir minggu ini, tiga dari kalian akan tereleminasi. Tapi …,”Cok Huda diam lagi lalu memelototi gadis-gadis itu satu persatu, ”kalau begini cara kalian latihan, aku pikir sebaiknya semuanya dipulangkan sekarang saja. Percuma!”

Hening. Para abg jelita yang sudah terlanjur bermimpi setinggi bintang itu tiba-tiba merasa dibanting ke Bumi. Mereka menunduk seolah mencari jejak kejatuhan mereka dari langit sambil berharap lantai di hadapan mereka tidak bolong apalagi sampai rusak.

“Ada apa dengan kalian?” Tanya Cok Huda.

Sebagai informasi, pelatih berusia sekitar empat puluh tahun itu sebenarnya punya mata yang teduh dan menyejukkan. Namun kali ini tidak ada yang ingin menatapnya karena keteduhan mata itu sudah berubah menjadi tatapan Medusa, si putri berambut ular yang tatapannya bisa mengubahmu menjadi arca.

Seolah sedang menghindari gigitan ular, para abg itu bergeming. Mereka juga menahan napas, mungkin khawatir mengambil jatah oksigen Cok Huda.

“Maaf, Bang,” setelah jeda beberapa detik Sherly akhirnya memberanikan diri bersuara. “Saya hilang konsentrasi.”

Seperti diberi komando, teman-temannya ikut mengiyakan. Tapi itulah kenyataanya. Sayang tidak ada yang berani memberi penjelasan ngacir ke mana sang konsentrasi.

Cok Huda menghela napas. Tatapannya meredup dan itu membuat para peserta audisi bisa bernapas sedikit lega dan mengambil napas lebih banyak tanpa khawatir menyerobot jatah oksigen si pelatih itu.

“Ya, sudah,“ Katanya. “Kita break satu jam. Tapi aku mau, setelah itu kalian bawa balik itu makhluk yang bernama konsentrasi. Deal!”

Tak perlu diperintah dua kali—dan pastinya tidak perlu dilatih—para peserta berseru kompak, “Deal!

***

Saat break, Dewi yang merasa tidak enak dengan kejadian waktu latihan tadi, langsung minta maaf.

“Sorry, guys. Gara-gara cerita gue semalem, kalian jadi ketakutan,” kata Dewi.

Anak-anak yang lain cuma diam, tidak yakin harus menjawab apa. Mereka memang takut mendengar cerita Dewi, tapi sekarang ancaman Bang Cok terlihat jauh lebih menyeramkan.

“Eh, Wi. Beneran ada yang jegal lu semalem. Bukan cuma hoax kan?” Sherly tiba-tiba bertanya. Suaranya terdengar seperti ibu tiri Cinderella yang sedang bertanya saat mencari lipstiknya yang hilang.

“Maksud, lo?” Tanya Dewi sambil melotot.

Sherly mengangkat dagunya. Anak-anak yang lain bergantian menatap wajah Sherly dan Dewi seperti sedang membandingkan siapa yang paling cantik.

“Yah, seperti yang Bang Cok bilang, ini kan minggu kedua. Akhir minggu ini bakalan ada tiga orang yang harus cabut,” Sherly melirik ke kiri dan ke kanan.

“Trus, apa hubungannya dengan gue?” Suara Dewi meninggi.

Sherly menghela napas lalu kembali mengangkat bahu. “Yah, jangan sampe aja ini akal-akalan buat ganggu konsentrasi kita.”

Bagaikan rombongan bebek menemukan bekicot, anak-anak yang lain berlomba memelototi Dewi, menghujamkan tuduhan, dan menagih penjelasan. Dari sepuluh peserta, semuanya tahu Sherly favorit dan Dewi yang tidak hebat-hebat amat harus bersaing dengan peserta lain untuk masuk lima besar. Tuduhan Sherly tadi sangat beralasan.

“Jadi lu nuduh gue mau main curang? Eh, lu liat tadi kan, gue sempet lupa lirik. Jadi apa untungnya buat gue?”

Sebagian teman-temannya mengangguk.

“Yah, cuma tanya kok,” kata Sherly sambil membuang muka. “Lu kan satu kamar dengan Helen. Kok dia biasa-biasa aja tuh, kaya ngga ngaruh gitu….”

“Eh, jangan bawa-bawa gue …,” tukas Helen.

Sepertinya api perdebatan semakin membesar dan melebar. Jika dibiarkan, beberapa saat lagi mungkin mereka akan saling jambak. Untunglah sebelum itu terjadi terdengar suara teriakan.

“Oke, break selesai!” teriak Cok Huda.

Dan diskusi pun harus selesai tanpa penutup apalagi hasil.

***

[BERSAMBUNG]

Keseluruhan cerita sampai saat ini bisa dilihat di sini http://armeibee.weebly.com/stroberi-sweet-novel.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun