Kurun waktu 1998 - 2011 jangka waktu yang aku jadikan "panggung" tulisan ini semata-mata adalah opini yang terbentuk dengan sendirinya, tanpa bermaksud menggurui apalagi menghakimi siapapun.
Gelombang aksi demonstrasi mahasiswa yang bercampur baur dengan massa non mahasiswa yang sudah sulit diidentifikasi akhirnya mencapai puncaknya pada pertengahan bulan Mei 1998 di ibukota Jakarta, kerusuhan dimana-mana berdarah-darah disertai pembakaran, penjarahan, penganiayaan, perkosaan bahkan pembunuhan oleh gerombolan orang yang sekali lagi tak bisa dikenali, lantaran kacau balau tak terkendali.
Beberapa hari kemudian, keadaan berubah,
luapan gembira membahana memenuhi langit Jakarta secepat berita Suharto Presiden RI menyatakan mundur sebagai Presiden dan mandataris MPR pada 21 Mei 1998.
Gembira yang amat sangat bagi rakyat diseluruh Indonesia digambarkan oleh media elektronik dan cetak begitu dahsyat, juga masyarakat internasional merespon peristiwa mundurnya Presiden RI yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun dengan beragam tanggapannya.
Reformasi diteriakkan menjadi semacam mantera yang amat sakti oleh tokoh2 seperti Amin Rais, Gus Dur, Sri Sultan HB X dan Megawati Sukarno Putri dan di-amin-i oleh rakyat secara serempak tanpa tanya lagi apa konsep selanjutnya untuk menjalankan "kendaraan" yang bernama Indonesia setelah memvonis Orde Baru sudah salah jalan.
Maka seperti tumbuhnya jamur dimusim hujan tak lama berselang BJ Habibi menjadi Presiden pertama di era Reformasi, Partai Politik bermunculan, semua mengklaim sebagai Partai yang akan membawa bangsa Indonesia ke alam demokrasi yang akan menobatkan rakyatnya menjadi bangsa yang berdaulat atas negeri bernama Indonesia, lengkap dengan pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. .
Seiring berjalannya waktu, rakyat Indonesia larut dialam reformasi, pemilihan umum yang dinilai banyak orang paling demokratis setelah pemilu tahun 1955 digelar pada tahun 1999, mulailah abad multi partai menghiasi wajah Indonesia. Terjadilah dalam praktik kenegaraan kekuasaan legislatif mengambil alih sebagian kekuasaan eksekutif, dan saat ini bermula kekuasaan legislatif melampaui dari yang semestinya. Aneh tapi nyata, begitulah yang terjadi.
Seandainya kekuasaan yang dimiliki legislatif benar2 bagi dan untuk sebesar besar rakyat Indonesia maka mungkin ini menjadi konsep system tata-negara baru untuk melukiskan bentuk kedaulatan rakyat. Seandainya ini mewujud maka Indonesia menjadi negara demokrasi pertama didunia dengan multi partai, tidak menganut system parlementer tapi kekuasaan terbesar ada pada parlemen.
Tapi sayang seribu kali sayang, kekuasaan sebesar itu hanya menjadi alat perebutan kekuasaan oleh para elit Politik. Kecongkakan dalam bersikap sebagai anggota parlemen turut mewarnai sekaligus mencederai Gerakan Reformasi, yang harus dibayar amat mahal oleh bangsa Indonesia.
Pergantian Presiden selalu diikuti caci-maki, sama dan sebangun ketika Suharto menggantikan Bung Karno, seboleh-bolehnya segala yang "berbau" Sukarno harus dimusnahkan. Begitu KH Abdurrahman Wahid atau populer dengan panggilan Gus Dur menjadi Presiden yang terpilih, belum sampai akhir jabatan, dilengserkan. Sekali lagi rakyat Indonesia meng-amin-i tanpa banyak tanya akan bagaimana selanjutnya setelah Gus Dur lengser.
Harga suatu pilihan memang tidak murah, pertikaian antar politikus dan antar elite bangsa tak terelakan. Semua mengatas namakan kepentingan bangsa. Tapi diruangan yang terang benderang mereka berebut kenikmatan berkuasa, dengan rakusnya tanpa rasa malu melakukan perbuatan yang dulu mereka cela, yakni Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.