Ketika menabrak lobang hidung ini, aroma kopi ala rakyat jelata; racikan Daeng Nasir, begitu kuat kental mengakar, tak mau pergi rasanya di hidung ini. Merasuk ke dasar hati dan pikiran ini, aromanya mengamuk memaksaku berucap syukur kepada Tuhan atas segala nikmatnya.
Begitu kuteguk. Luar biasa, mantap betul... butiran kata syukur pun berkali-kali melompat dari bibir ini. Kopi yang diseduh di tepi jalan, di atas badan selokan, membuat rasaku terkapar. Kopi ala rakyat jelata harganya sungguh cocok sekali dengan suasana dompet. Harganya bukan miring, tapi rebah merakyat.
Kau pun harus tahu kawan, nikmat kopi ala rakyat jelata membuatku memetik bulir hikmah. Apa itu? Kalau sudah sukses, jangan lupa diri, jangan bikin jarak dengan rakyat jelata. Karena sebagian besar, di balik kesuksesan kita, ada sentuhan tangan rakyat jelata. Kusingkat. Kalau sudah sukses; kaya, tetaplah merakyat.
(Catatan langit, 25 April 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H