Mohon tunggu...
Arman Sagan
Arman Sagan Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Pengamat Kehidupan, Abdi Negara, Petugas Pemasyarakatan

Karena ku ingin menulis maka aku menyimpan kata, menaruhnya rapih di almari benak, tuk kelak menumpahkannya lewat aksara yang berbaris, ber'shaf, berlapis, dan kuharap bermakna.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Metamorfosa Kata Anjay

9 September 2020   13:44 Diperbarui: 9 September 2020   13:44 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengantar : Uraian Singkat Tentang Bahasa

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. 

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, namun Melayu disini tidak merujuk pada suatu suku bangsa tertentu melainkan dalam arti luas karena bahasa Melayu sejak lama telah dipergunakan sebagai bahasa dalam kegiatan perdagangan dan perhubungan di hampir seluruh Asia Tenggara masing-masing dengan logat dan kekhasan nya tersendiri.

Seperti diketahui Indonesia memiliki sekitar 748 bahasa daerah yang sejak era kolonial hingga sekarang masih menjadi bahasa ibu bagi masyarakat di daerah masing-masing. Namun pada perkembangannya diperlukan suatu bahasa yang dapat menyatukan semua pihak dalam pemahaman yang sama, dan disinilah peran bahasa Melayu. 

Bahasa Melayu yang sudah menjadi bahasa pergaulan (lingua franca) kemudian diangkat sebagai bahasa persatuan dalam Kongres Pemuda Kedua yang diselenggarakan di Batavia (Jakarta) tanggal 27 dan 28 Oktober 1928. Pengakuan bahasa melayu ini tercatat pada butir ketiga Sumpah Pemuda

"Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia"

Penamaan Bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan merupakan suatu cara untuk mencegah imperialisme bahasa sekaligus menegaskan "Indonesia" sebagai sebuah cita-cita akan lahirnya bangsa Indonesia yang merdeka dan mandiri.

Beberapa bahasa daerah, memiliki tingkatan bahasa berdasarkan cara dan kepada siapa ia digunakan, hal ini boleh jadi merupakan pengaruh dari budaya Hindu yang mengenal sistem kasta, sehingga kata-kata yang digunakan kasta rendah tidak pantas diucapkan kepada kasta tinggi, bahkan dianggap cemoohan.

Setelah runtuhnya kerajaan Hindu, sistem kolonial sengaja mempertahankan pola bahasa tersebut guna mencegah persatuan bangsa. Sistem kasta dalam perspektif bahasa, digunakan untuk mendukung politik segregasi dimana para penjajah menempatkan dirinya di kasta tertinggi diikuti oleh orang Eropa lainnya, kemudian disusul bangsa Timur Asing (meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lain), dan Inlander (pribumi) di posisi terakhir, hal ini diperparah dengan masih kuatnya feodalisme dalam budaya pribumi, sehingga membedakan antara golongan priyayi dan rakyat jelata.

Sebagai contoh Bahasa Jawa dan Bahasa Sunda mengenal undak usuh basa, yang membedakan antara penggunaan bahasa kepada rekan sepantar/sejajar dengan bahasa kepada orang tua atau orang yang derajatnya lebih tinggi.

Bahasa Indonesia tidak mengenal itu, sebagai bahasa persatuan, bahasa Indonesia menempatkan setiap kata atau kalimat dalam derajat yang sama oleh siapapun atau kepada siapapun itu digunakan. 

Meskipun ada beberapa kata yang dianggap memiliki makna yang lebih tinggi, namun perbedaan ini lebih bersifat estetis, sehingga digunakan untuk penulisan karya sastra namun jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. 

Adapula kata-kata yang karena alasan akademis digunakan dalam karya ilmiah, namun ketika berhadapan dengan masyarakat umum, para penuturnya harus menemukan kata lain agar lebih mudah dipahami

"Anjay" dan Pemaknaan Kata

 Uraian di atas merupakan pengantar untuk pembahasan topik yang sempat ramai diperbincangkan di berbagai platform media sosial yaitu tentang kata "Anjay". 

Polemik ini bermula dari seorang selebgram Lutfi Agizal yang mempersoalkan kata Anjay yang kerap digunakan oleh selebritis, ia menganggap kata ini mengandung konotasi yang buruk dan akan memiliki pengaruh negatif kepada masyarakat khususnya anak-anak yang meniru pengucapan kata ini.

Hal ini direspons oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang kemudian menggelar pers rilis terkait masalah ini. Menurut Komnas PA, istilah Anjay dikhawatirkan memiliki dampak yang buruk terhadap perkembangan anak.  

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa penggunaan istilah Anjay harus dilihat dari berbagai sudut pandang, tempat, dan makna. Jika dimaksudkan sebagai kata pengganti salut, kagum atas suatu peristiwa, istilah Anjay tidak mengandung kekerasan atau bullying juga ketersinggungan pihak lain. Namun jika istilah Anjay digunakan sebagai sebutan untuk merendahkan martabat seseorang, istilah tersebut masuk dalam kekerasan verbal dan dapat ditindak pidana.

Pers Rilis ini mendapat tanggapan beragam dari masyarakat luas, banyak yang menganggap penggunaan kata Anjay merupakan hal yang biasa sehingga tidak harus ditanggapi secara berlebihan, para selebritis ramai memberikan respon yang sebagian besar diantaranya tidak setuju bila kata Anjay dianggap berbahaya, bahkan sampai Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil membuat postingan di IG yang seakan menyindir polemik ini sebagai hal remeh temeh yang hanya membuang waktu.

Dalam ilmu Linguistik diketahui, bahwa sebuah kata dapat mengalami perubahan makna, bisa diperluas, dipersempit, terasosiasi, penghalusan (ameliorasi), penurunan/degradasi (peyorasi) atau pertukaran makna (sinestesia), bisa berubah dalam bentuk metafora, metonimia, hiperbola dan berbagai bentuk lain

Kata Anjay sendiri dipercaya sebagai pelesatan atau pengembangan dari kata anjing, bukan anjing dalam definisi aslinya yang merujuk pada binatang tertentu, tapi pada perubahan maknanya di mana istilah "anjing" sering digunakan sebagai umpatan, makian, ejekan atau hinaan kepada orang lain, walaupun di sisi lain dalam kondisi tertentu atau dalam pergaulan sehari-hari kata itu sering digunakan tanpa niat buruk, malah sebagai penanda kedekatan dan keakraban sosial.

Ada beberapa turunan kata "anjing" sebagai suatu ekspresi yang umum dipakai. Antara lain : 

anjir/anjrit digunakan dalam mengungkapkan ekspresi kesal, marah, sebal, kecewa

anjay digunakan dalam mengungkapkan ekspresi terkejut, salut, kagum, pujian atau sanjungan akan sesuatu

pengelompokkan kata di atas tidaklah bersifat baku, karena memang kedua kata di atas juga bukanlah kata baku.

Anjay sebagai wujud Dinamika Bahasa 

 Dalam perspektif bahasa yang telah kita bahas di awal tulisan, kata anjay merupakan salah satu bagian dari dinamika bahasa, yang berubah seiring dengan waktu sesuai dengan pemahaman atau pemikiran penuturnya. Definisi bahasa itu sendiri memang merujuk pada cara suatu masyarakat untuk berkomunikasi, bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. 

Menganggap suatu kata sebagai bahaya, bukanlah pendekatan yang tepat, karena kata tidak pernah lepas dari maknanya, dan bahasa sebagai tempat kata hidup mensyaratkan akan adanya perubahan makna, sehingga makna suatu kata dapat berubah-ubah seiring jaman.

Mempersoalkan sebuah kata apalagi mengaitkannya dengan tindak pidana justru akan membuat sebuah kata kehilangan maknanya dan mengancam kreativitas petutur yang sesungguhnya adalah nafas dari bahasa itu sendiri.

Kita mengetahui bahasa Indonesia itu sendiri diangkat dari bahasa pergaulan, bukan berasal dari kalangan kasta tinggi atau golongan atas di masyarakat melainkan dari bahasa yang sering dipakai di pasar. 

Bahasa Indonesia pun tidak mengenal tingkatan derajat, siapapun dari golongan ekonomi, sosial, pendidikan apapun bisa menggunakan bahasa yang persis sama. 

Hal ini tidak terlepas dari fungsinya sebagai pemersatu bangsa memberikan perasaan sejajar, senasib, sepenanggungan sehingga memperkuat ikatan kebangsaan.

Dalam perspektif ini, mempersoalkan kata justru dapat menjadi ancaman bagi disintegrasi bangsa. Meskipun begitu kita tidak bisa menyalahkan pihak yang khawatir bahwa penggunaan kata yang dianggap kasar dapat memberikan pengaruh negatif bagi generasi penerus bangsa. Kekhawatiran ini mesti ditanggapi secara wajar, tanggapan yang berlebihan bahkan sampai pada tahap perundungan (bully) terhadap pihak-pihak yang memulai polemik ini, sangatlah tidak perlu.

Setiap persoalan harus dihadapi dengan proporsional dan obyektif. Pertanyaan tentang makna sebuah kata, harus dikembalikan kepada penuturnya itu sendiri, karena pemaknaan oleh ahli bahasa sekalipun tidak bisa mendefinisikan niat dari penutur. 

Bahasa harus dibiarkan dalam kedinamisannya, tidak boleh dibelenggu oleh jerat-jerat hukum yang boleh jadi hanya akan digunakan untuk kepentingan kekuasaan atau kepentingan lain yang malah akan mengancam kreativitas masyarakat dan kesatuan bangsa.

Akhir kata, mengutip ucapan Cak Nun "kata dan makna merupakan hasil dari kesepakatan bersama" selama kita masih sepakat terhadap suatu penamaan maka tidak ada masalah, namun ketika ada pihak yang mulai mempermasalahkan kesepakatan itu, dengan dalih yang terkesan berlebihan maka kita punya kata yang tepat untuk itu.... Anjay!!

Cianjur, 09 September 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun