Tema skripsi saya, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam bidang ekonomi manajemen, adalah mengenai customer delivered value. Singkatnya, topik tersebut membahas mengenai bagaimana nilai yang diterima oleh pelanggan pada suatu bentuk usaha.
Bisa juga diartikan sebagai selisih antara total nilai yang didapatkan oleh pelanggan dan total biaya yang dikeluarkan oleh mereka. Jika ternyata nilai yang diterima lebih besar ketimbang total biaya, maka pelanggan dianggap puas.
Skripsi saya termasuk yang paling sedikit halamannya jika dibandingkan dengan rekan seperjuangan yang lain. Saat itu, tahun 2010, tema customer delivered value tidak terlalu populer di kalangan mahasiswa.
Sebagian dari mereka lebih senang membahas subjek seperti marketing mix yang telah lebih dulu memenuhi rak-rak buku di perpustakaan kampus.
Hal itu pula yang menyebabkan tema yang saya ajukan ke dosen pembimbing lebih mudah disetujui, karena dianggap tidak ikut-ikutan mengerumuni pokok bahasan yang dalam pandangannya sudah cukup "usang".
Saat menggarap skripsi, saya memang mendadak jadi seorang peneliti. Tetapi bukan meneliti tentang topik itu sendiri yang menarik, melainkan tingkah dosen pembimbing yang membuat nafas saya naik-turun.
Dosen pembimbing saya adalah seorang pria yang menyandang gelar akademik doktor. Konon saat itu, dia termasuk sosok yang disegani karena gelar dan faktor "senior" di antara dosen lainnya. Sebut saja namanya X.
Sayangnya, dia juga termasuk orang yang sulit ditemui di kampus. Saya pernah berjam-jam menunggunya di kampus, lalu pulang dengan tangan hampa.
Sampai suatu hari saya memutuskan untuk mendatangi dia di rumah pribadinya. Dengan wajah yang tak terlalu ceria, ia mengoreksi konsep skripsi saya di teras rumahnya. Sambil berdiri.
Mungkin akibat kelelahan, Pak X sakit agak berat pada suatu hari. Sehingga dosen pembimbing saya berganti orang, kebijakan dari pihak akademik kampus.