Dia adalah seorang perempuan yang menyandang gelar akademik magister. Sebut aja namanya Bu Y.
Sebenarnya muncul suatu kelegaan dalam hati saya, meski saya pun tak tega melihat Pak X sakit. Akhirnya ganti orang, kira-kira seperti itu ungkapan kalbu saya.
Maka dengan semangat membara, saya membawa contoh hasil tulisan akademis saya kepadan Bu Y dengan harapan bisa segera menyelesaikan pendidikan.
Kalau saya tak salah ingat dia mengatakan agar meletakkan karya saya itu di meja kerjanya di ruang dosen. Dalam tempo empat hari, saya akan mendapatkan ulasan dari Bu Y dalam rangka membenahi konsep skripsi tersebut.
Tepat di hari keempat, saya melihat map yang saya letakkan di permukaan mejanya tak bergerak sedikit pun. Persis sama dengan pertama kali benda itu saya rebahkan. Bahkan, kalau tak salah, ada sedikit debu yang bersemayam di atasnya.
Beberapa hari kemudian saya berusaha menghubungi Bu Y, namun tak berhasil. Saya lupa penyebabnya kala itu. Intinya sulit ditemui.
Saya pun menyadari ternyata lepas dari gigitan buaya tak berarti akan lolos dari terkaman singa. Apes, Bro!
Sementara itu teman-teman seperjuangan saya yang lain melenggang aman menuju sidang skripsi didampingi oleh dosen pembimbing masing-masing. Saya? Jangan ditanya, masih sibuk cari akal.
Saya perhatikan dosen-dosen pembimbing dari teman-teman saya itu, tampak dari sorot mata dan gesturnya, benar-benar menjalankan tugas seperti seharusnya. Kebanyakan dari mereka adalah dosen muda, namun ada pula yang sudah jauh berpengalaman.
Dalam kegalauan kala itu saya berkonsultasi kepada seorang dosen bernama Pak R. Ia adalah seorang Dosen yang lumayan senior (umurnya masih di bawah Pak X, tapi di atas Bu Y).
Pak R merupakan seorang keturunan tionghoa, tubuhnya besar, dan beliau sangat lancar berbahasa Inggris.