Tadi pagi tak sengaja saya mendengarkan pembicaraan mama dengan seorang wanita yang bernama X. Perempuan tersebut kira-kira berumur tujuh puluhan. Kala itu saya sedang menyantap bubur ayam di dekat jendela.
Bu X memiliki empat orang anak. Satu di antaranya sedang berjuang melawan sakit akibat narkotika. Putranya yang sedang lara itu bernama Z, lebih tua beberapa tahun dari saya.
Di rumah, bu X hanya tinggal berdua dengan Z. Suaminya sudah lama meninggal, puluhan tahun lalu. Anak-anaknya yang lain tak lagi tinggal di situ karena telah memiliki keluarga.
Pada masa jaya, menurut tetangga sekitar mereka, rumah bu X selalu "ramai". Suara teriakan, ancaman, perkelahian, dan sejenisnya sudah biasa terjadi.
Sekarang, rumah itu sunyi. Tak ada lagi sisa kemasyhuran. Tapi menurut saya itu tak masalah, karena yang paling penting sekarang adalah tatapan bu X penuh kasih. Jauh berbeda dengan masa lampau seperti yang saya ingat.
"Hari ini rencananya saya akan memasak sup sayur untuk si Z. Sudah beberapa hari ini dia tak mau makan. Semoga kali ini mau", ujar bu X kepada mama. Suaranya bergetar menyiratkan kepedihan. Orang tua mana yang tega anaknya sakit.
Tangan bu X menggenggam sebuah payung mini yang terdapat logo dari perusahaan tempat saya bekerja dulu. Sepertinya mama meminjamkan kepada dia supaya tidak kehujanan atau kepanasan ketika pergi ke pasar.
Saya berpikir bahwa sebenarnya manusia memang terlahir baik, tahap berikutnya dunia "mengotori" sebagian di antara kita (termasuk saya), lalu di masa senja kita akan berubah haluan atau tetap sama tergantung pengalaman spiritual yang telah dilewati.
Sebagai seorang ayah, hal yang paling saya takuti adalah tidak mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anak, dan menyesal pada hari kemudian. Kalau kata orang-orang Pontianak: "Jika kau tak kaya harta, jangan miskin jiwa!"
Dalam rangka belajar menjadi orang tua yang penuh cinta, saya membaca artikel "Sembilan Tips Menjadi Orang Tua Baik" yang ditayangkan oleh website Radio Republik Indonesia (20/10/2024).