Pengalaman saya pribadi maupun dari kisah teman-teman lain, kalau sedang stres atau dalam suatu tekanan tertentu biasanya "melarikan diri" dengan cara banyak makan, mengurangi makan, dan melakukan aktivitas fisik yang berlebihan. Mungkin ada banyak lagi, silakan saja tambahkan.
Pada 2024 ini ternyata muncul fenomena pelarian depresi yang disebut doom spending. Saya mengutip dari artikel "Gen Z dan Milenial Cenderung Melakukan Doom Spending, Apa itu?" yang ditayangkan oleh Kompas.com tentang definisinya yaitu istilah yang merujuk pada perilaku seseorang yang berbelanja tanpa berpikir untuk menenangkan diri karena merasa pesimis terhadap ekonomi dan masa depannya.
Secara pribadi, saya tidak setuju dan merasa aneh atas pengertian tersebut. Bagaimana mungkin seseorang bisa menenangkan diri dengan mengeluarkan uang sementara tidak percaya diri dengan kondisi keuangannya pada saat yang sama?
Jadi, orang yang melakukan doom spending itu jangan-jangan memang tak punya otak belaka, namun berkedok ini-itu untuk menutupi perilaku konsumtifnya. Berdasarkan jurnal ilmiah "Society" terbitan Universitas Sam Ratulangi yang berjudul "Perilaku Konsumtif dan Kehidupan Sosial Ekonomi Mahasiswa Rantau (Studi Kasus Mahasiswa Toraja di Universitas Sam Ratulangi Manado)", definisi perilaku konsumtif adalah perilaku individu yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis di dalam kehidupannya yang dituntut untuk mengonsumsi secara berlebihan atau pemborosan, dan tidak terencana terhadap barang dan jasa yang kurang bahkan tidak diperlukan.
Pada halaman kedua jurnal tersebut, paragraf ketiga, ada satu pendapat yang menarik perhatian saya, yaitu: remaja yang berstatus sosial ekonomi rendah tidak luput dari perilaku konsumtif yang hanya untuk menutupi kekurangan mereka.
See? Jika diterjemahkan dalam bahasa kasar: ini orang tak punya uang tapi sok gaya. Apa namanya selain tak punya otak?
Benar adanya orang-orang seperti itu, yang boros parah demi sesuatu yang hampa. Mereka berusaha mendapatkan validasi dari orang lain. Pepatah paling tepat untuk kasus seperti ini adalah "langit tak perlu menjelaskan ketinggiannya". Lelah sekali cara hidup semacam itu.
Saya tak berani mengatakan bahwa semua sama, tapi di lingkungan pergaulan saya kejadian seperti ini disebabkan karena seseorang salah memilih atau memaksakan diri berdiri di dalam tempat yang tak sesuai.
Contoh, semasa SMA ada seorang teman (perempuan) yang sebenarnya hidupnya baik-baik saja, biasa saja, tak ada masalah. Tapi suatu hari ia bergabung dengan kalangan jetset. Karena berasal dari keluarga yang "cukup", maka ia kesulitan mengimbangi teman-teman barunya yang "lebih". Alhasil dia menjadi pesuruh dalam circle tersebut, disuruh beli ini-itu, disuruh ke sana-sini sebagai ganti tidak bisa ikut menyumbang dalam hal materi. Sungguh pilihan hidup yang mengagumkan.
Lebih parah, teman saya itu akhirnya memutuskan untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Rasa gengsi mengalahkan semuanya. Gengsi atau murni bodoh? Entah, agak sulit membedakannya.
Dalam sebuah jurnal berjudul "Gaya Hidup Konsumtif dalam Perspektif Teori Kepribadian Carl R. Rogers dan Refleksi Kritis bagi Pembentukan Karakter Bangsa"Â yang diterbitkan oleh Sophia Dharma: Jurnal Filsafat Agama Hindu dan Masyarakat (Institut Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram), saya menemukan pendapat-pendapat yang sebaiknya kita renungkan bersama-sama.
Pada jurnal itu ditulis: "Manusia dengan gaya hidup konsumtif sangat jauh dengan nilai-nilai luhur Pancasila, jadi gaya hidup semacam ini haruslah dihindari. Manusia Indonesia seharusnya melaksanakan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari."
Masih dalam jurnal tersebut: "Manusia bergaya hidup konsumtif tidak bersifat kaku, hal ini terlihat pada tingkah laku manusia tersebut yang cenderung spontan dalam memenuhi hasrat keinginannya untuk memiliki suatu barang yang sifatnya berlebih. Emosi yang muncul adalah emosi untuk memenuhi hasrat keinginannya yang berupa kepuasan fisik."
Setelah menelaah pendapat-pendapat tersebut selama beberapa waktu, saya semakin yakin bahwa apa yang disebut dengan doom spending ini merupakan perilaku konsumtif belaka. Orang-orang zaman sekarang, menurut saya, suka memakai istilah aneh-aneh untuk menutupi substansi sebenarnya.
Jadi hemat saya, tak ada bedanya dengan zaman dulu. Ada orang yang hemat, ada orang yang boros. Boros ya boros saja, jangan membela diri dengan munculnya kecemasan yang kontradiktif.
Kalau boleh menyampaikan ide, saya ada satu yang barangkali bisa digunakan dalam rangka "menyembuhkan" sikap boros. Saya mohon izin memaparkannya menggunakan perspektif Islam. Masukan ini pun terkhusus bagi saudara-saudara yang beragama Islam. Mengapa begitu? Karena sungguh saya tak ingin memaksakan pendapat saya sebagai seorang muslim kepada rekan-rekan lain yang bukan. Salam damai selalu.
Imam Ibnu Hibban meriwayatkan sabda Nabi Muhammad salallahu 'alaihi wa sallam: "Sedekah itu dapat memadamkan kesalahan, sebagaimana sebongkah es yang meleleh di atas batu karang."
Jadi, menurut saya, ketimbang mengeluarkan uang untuk benda fana secara berlebihan, marilah kita berinvestasi demi kebaikan di akhirat nanti. Uniknya, saya selalu merasa "lega dan terobati".
Apalagi bersedekah mampu melunakkan hati yang keras. Anda akan melihat bagaimana seseorang ayah atau ibu yang sedang berjuang pontang-panting untuk sesuap nasi, sementara sebagian dari kita yang beruntung dengan mudahnya membeli sampah (maksud saya barang mewah yang tak diperlukan).
Pada dasarnya saya menghormati hak siapa pun untuk membeli apa pun. Duit milik kalian, ya ... silakan saja. Namun, bukankah hidup ini lebih indah tanpa harus repot-repot menonjolkan diri? Bukankah lebih baik memberi anak-anak yatim makanan daripada membeli tas mahal ratusan juta?
Akhir kata mari kita renungkan, khususnya saudaraku sesama muslim, perkataan Nabi Muhammad salallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut ini: "Tidaklah kalian ditolong dan diberi rezeki melainkan karena adanya (doa) orang-orang  yang lemah di antara kalian."
----
Dicky Armando, S.E. - Pontianak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H