Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Doom Spending, Kecemasan atau Kedok Belaka?

2 Oktober 2024   08:01 Diperbarui: 2 Oktober 2024   10:09 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman saya pribadi maupun dari kisah teman-teman lain, kalau sedang stres atau dalam suatu tekanan tertentu biasanya "melarikan diri" dengan cara banyak makan, mengurangi makan, dan melakukan aktivitas fisik yang berlebihan. Mungkin ada banyak lagi, silakan saja tambahkan.

Pada 2024 ini ternyata muncul fenomena pelarian depresi yang disebut doom spending. Saya mengutip dari artikel "Gen Z dan Milenial Cenderung Melakukan Doom Spending, Apa itu?" yang ditayangkan oleh Kompas.com tentang definisinya yaitu istilah yang merujuk pada perilaku seseorang yang berbelanja tanpa berpikir untuk menenangkan diri karena merasa pesimis terhadap ekonomi dan masa depannya.

Secara pribadi, saya tidak setuju dan merasa aneh atas pengertian tersebut. Bagaimana mungkin seseorang bisa menenangkan diri dengan mengeluarkan uang sementara tidak percaya diri dengan kondisi keuangannya pada saat yang sama?

Jadi, orang yang melakukan doom spending itu jangan-jangan memang tak punya otak belaka, namun berkedok ini-itu untuk menutupi perilaku konsumtifnya. Berdasarkan jurnal ilmiah "Society" terbitan Universitas Sam Ratulangi yang berjudul "Perilaku Konsumtif dan Kehidupan Sosial Ekonomi Mahasiswa Rantau (Studi Kasus Mahasiswa Toraja di Universitas Sam Ratulangi Manado)", definisi perilaku konsumtif adalah perilaku individu yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis di dalam kehidupannya yang dituntut untuk mengonsumsi secara berlebihan atau pemborosan, dan tidak terencana terhadap barang dan jasa yang kurang bahkan tidak diperlukan.

Pada halaman kedua jurnal tersebut, paragraf ketiga, ada satu pendapat yang menarik perhatian saya, yaitu: remaja yang berstatus sosial ekonomi rendah tidak luput dari perilaku konsumtif yang hanya untuk menutupi kekurangan mereka.

See? Jika diterjemahkan dalam bahasa kasar: ini orang tak punya uang tapi sok gaya. Apa namanya selain tak punya otak?

Benar adanya orang-orang seperti itu, yang boros parah demi sesuatu yang hampa. Mereka berusaha mendapatkan validasi dari orang lain. Pepatah paling tepat untuk kasus seperti ini adalah "langit tak perlu menjelaskan ketinggiannya". Lelah sekali cara hidup semacam itu.

Saya tak berani mengatakan bahwa semua sama, tapi di lingkungan pergaulan saya kejadian seperti ini disebabkan karena seseorang salah memilih atau memaksakan diri berdiri di dalam tempat yang tak sesuai.

Contoh, semasa SMA ada seorang teman (perempuan) yang sebenarnya hidupnya baik-baik saja, biasa saja, tak ada masalah. Tapi suatu hari ia bergabung dengan kalangan jetset. Karena berasal dari keluarga yang "cukup", maka ia kesulitan mengimbangi teman-teman barunya yang "lebih". Alhasil dia menjadi pesuruh dalam circle tersebut, disuruh beli ini-itu, disuruh ke sana-sini sebagai ganti tidak bisa ikut menyumbang dalam hal materi. Sungguh pilihan hidup yang mengagumkan.

Lebih parah, teman saya itu akhirnya memutuskan untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Rasa gengsi mengalahkan semuanya. Gengsi atau murni bodoh? Entah, agak sulit membedakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun