Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pedagang Jujur, Pedagang Mujur

11 Juni 2024   10:09 Diperbarui: 11 Juni 2024   10:25 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pedagang, sumber: pixabay.com

Kalau tidak salah hitung, sudah lima kali saya "tertipu" dengan barang yang datang, hasil dari pembelian secara daring. Kasusnya berbeda-beda.

Misalnya barang tersebut berasal dari jenis yang sama, tetapi beda warna. Ada pula benda-nya terkesan mirip, tapi tidak sesuai dengan yang saya pilih pada sistem marketplace toko mereka.

Saya menanyakan perihal yang sama kepada teman-teman, apakah mereka pernah mengalami hal serupa. Ternyata banyak juga yang mengalami.

Seperti saya, beberapa rekan memilih untuk mengembalikan barang yang "terkesan mirip" tersebut kepada oknum penjual. Sebagiannya lagi mereka berlapang dada saja dengan apa yang ada.

Uniknya adalah dalam kasus "salah kirim" ini, oknum pedagang memiliki alasan yang mirip-mirip juga: mereka mendapatkan banyak pesanan sehingga kurang jeli ketika memilah barang yang dikirim.

Padahal pada abad ini sudah ditemukan dua alat canggih yang bisa mengurangi potensi kesalahan yang dimaksud. Alat-alat tersebut adalah pena dan kertas.

Cara menggunakannya adalah dengan menulis menggunakan pena pada permukaan kertas. Mudah, bukan?

Saya menduga, oknum-oknum pedagang tersebut tidak bermaksud jahat pada awalnya. Namun karena kurangnya kontrol pada persediaan barang dagangan merupakan satu dari sekian banyak penyebabnya.

Pada tahap ini mereka kebingungan karena barang pesanan pembeli sudah tidak ada yang sesuai dengan deskripsi awal. Maka mereka memilih barang-barang yang sekiranya mirip, meski berbeda warna. Mereka sudah tahu resikonya: dikembalikan pembeli. Namun sebagian oknum penjual bertaruh siapa tahu pembelinya suka dengan benda tersebut.

Namun secara substansi, mereka kekurangan apa yang disebut dengan "kejujuran". Mengapa? Karena di situlah segalanya bermuara.

Oknum pedagang dihadapkan pada pilihan "kirim barang yang tidak sesuai pilihan pembeli" atau "kirim barang yang sesuai pilihan pembeli". Pada saat itulah nilai kejujuran semua pedagang, kita semua juga, diuji oleh kenyataan.

Suatu hari, pada masa lampau, saya dan seorang teman bernama Vlad (bukan nama asli) pergi membeli kue di sebuah toko di Kota Pontianak. Setelah memilih beberapa saat, ia mengembalikan kue yang sebenarnya sudah dibungkus.

"Kenapa dikembalikan?" tanya saya.

"Ini lebih satu, Bro."

"Bukankah itu bukan salahmu? Salah penjualnya salah hitung. Sikat saja."

Vlad tertawa sembari menepuk keningnya yang agak lebar. "Tidak boleh begitu. Bagaimana mungkin makanan yang berasal dari kerugian orang lain akan terasa lezat? Itu kenikmatan semu."

Perkataan Vlad cukup masuk akal. Tapi saya juga bertanya-tanya dalam hati: Apakah makanan yang ditelan para koruptor di negara ini terasa hambar? Atau malah semakin nikmat?

Bagi yang beragama Islam ... saya ulangi, bagi yang beragama Islam. Saudaraku, saya berpesan kepada kalian dan terutama kepada diri saya sendiri, kita wajib selalu memegang kejujuran di zaman yang semakin gila ini.

Kita tak boleh menyandarkan diri pada prinsip "yang penting untung" tanpa memperhatikan baik-buruk suatu tindakan. Allah subhanahu wa ta'alaa berfirman (surah Attaubah ayat 119): "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, hendaknya kamu bersama orang-orang yang jujur."

Saya juga teringat kasus dari seorang rekan kerja yang menggunakan uang kantor untuk keperluan pribadinya. Ia sulit ditemukan selama berhari-hari, susah dihubungi, dan teman-temannya yang lain menutupi keberadaannya.

Bayangkan dia harus berlari ke sana-sini demi mencari keamanan. Tapi begitulah, kita bisa berlari dari kebenaran, tapi tak akan pernah bisa sembunyi. Ketahuan juga, meski pada akhirnya ia mengembalikan uang tersebut.

Sejak awal kebohongan tak pernah menghasilkan apa pun kecuali kekacauan lain. Imam Tirmizi meriwayatkan perkataan nabi Muhammad salallahu 'alaihi wa sallam: "Tinggalkan hal yang membimbangkan kalian menuju sesuatu yang tidak membimbangkan, sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan, dan kebohongan adalah kebimbangan."

Pedagang adalah pekerjaan yang mulia. Bahkan nabi Muhammad salallahu 'alahi wa sallam juga melakoninya sebagai penopang perekonomian pribadi dan keluarga.

Sehubungan dengan itu, dalam perspektif saya, orang-orang Islam yang terjun dalam dunia perdagangan, dilarang keras mengotori kegiatan perdagangan dengan kecurangan. Baik luring maupun daring.

Menurut saya, kejujuran itu membawa kemujuran. Coba kita renungkan perkataan nabi Muhammad salallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut ini: "Sesungguhnya jujur itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke surga."

----

Dicky Armando, S.E. - Pontianak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun