"Kenapa? Saya sudah punya konsep sendiri, tinggal dicetak."
"Karena surat-surat itu punya 'sopan santun' yang lebih tinggi daripada suratmu!"
"Mana ada hal-hal begitu. Sudah bukan zaman-nya berbasa-basi," protes saya.
"Lihat ini, kamu hanya menulis 'rumah nomor dua'. Harusnya disebutkan juga 'rumah Pak X'. Paham sampai di situ?"
Maksud "X" di situ adalah nama ayahnya, kebetulan kami akan melaksanakan acara di rumah beliau.
Mulai hangat hati saya. "Eh ... emangnya rumah nomor dua di gang ini ada berapa biji? Kamu jangan meremehkan otak orang sini! Mereka pasti tahu 'rumah nomor dua'!
"Tapi kita dalam membuat undangan sudah seharusnya sama dengan orang lain. Sudah tradisinya begitu. Tak perlulah kita buat yang berbeda, cukup contoh yang sudah ada."
"Tradisi dari mana? Hong Kong?"
Setelah itu istri saya mengambek. Karena saya termasuk laki-laki yang takut istri, akhirnya saya turuti kemauannya. Kemudian surat dengan penuh tata krama itu pun selesai juga. Bukan menulis skripsi, tapi membuat lelah jiwa-raga.
Pada kesempatan berbeda, ketika sedang merencanakan membuat pagar rumah, saya mengajukan satu desain kepada istri.
Istri saya memicingkan sedikit matanya, lalu berkata, "Desain pagar ini terlalu tertutup, lagi pula tak cocok diterapkan di kompleks perumahan kita. Terlalu tinggi dan tertutup. Tidak sama seperti orang lain!"