Beberapa bulan belakangan, beberapa rekan mengajak saya bergabung menjadi kader partai maupun anggota organisasi sayap dari partai politik tertentu.Â
Demi perubahan yang lebih baik, pada akhirnya saya bergabung menjadi anggota organisasi sayap, namun tidak terdaftar sebagai kader atau anggota partai.
Setelah beberapa waktu bergelut dalam kegiatan organisasi yang beraroma politik ini, saya menyadari sesuatu: tentang betapa besar perbedaan partai baru dengan partai yang sudah mapan.
Sebelum lebih jauh, saya menyangkal apa yang saya sampaikan ini merupakan riset ilmiah dengan metode sesuai standar penelitian, melainkan pengamatan serius secara pribadi baik secara langsung maupun dari penayangan-penayangan dari media sosial teman-teman saya yang bergelut di dunia politik.
Kalau tidak salah pada tahun 2019 terselenggara kegiatan pemilihan legislatif (Pileg). Perhelatan tersebut cukup meriah di tempat tinggal saya, Kota Pontianak. Banyak orang, yang saya kenal, mendaftarkan dirinya untuk berkompetisi.
Ada tiga jenis manusia, hanya yang saya kenal, yang mengikuti agenda pemilihan legislatif ini: orang kaya yang bermodal besar, orang yang bermodal kecil, dan orang yang terkadang bayar iuran listrik dan air leding saja sudah ngos-ngosan.
Khusus orang kategori yang terakhir biasanya hanya penggembira atau untuk memenuhi kuota dari partai saja. Namun hebatnya, orang kategori "ngos-ngosan" ini biasanya memiliki visi misi yang jauh lebih konkret.
Misalnya seorang teman saya yang bernama Bruce (bukan nama asli), ia pernah menjelaskan bagaimana peran seorang wakil rakyat untuk membuat undang-undang yang benar-benar memfasilitasi kebutuhan masyarakat, contoh, Bruce ingin mendorong lahirnya undang-undang agar putra-putri Kalimantan Barat terjamin kesempatannya untuk bersaing di pasar tenaga kerja pulau ini.Â
Lebih diutamakan maksudnya. Bruce ketika bertemu rekan-rekan lain selalu membicarakan hal tersebut, sepertinya ia berusaha berpromosi dengan cara seperti itu.Â
Bagus sebenarnya, tapi hanya menjangkau kalangan terbatas. Ya ... itu tadi, karena Bruce tidak didukung oleh kemampuan finansial yang mumpuni.Â
Andai saja ia bisa beli program televisi daerah atau mendapatkan panggung yang lebih besar, saya yakin mimpi Bruce bisa jadi kenyataan.
Topik dan solusi yang ditawarkan Bruce untuk saya pribadi, bahkan mungkin Anda, bukan hal baru. Apalagi perkara tenaga kerja yang berasal dari daerah asal. Namun bukan tidak mungkin bisa terealisasi jika Bruce terpilih. Sayangnya ia belum berhasil.
Bruce bukan orang berkantong tebal, tapi saya tahu persis dia adalah orang yang berpendidikan. Seorang sarjana.Â
Cara dan metode berpikirnya, menurut pandangan saya, pun teratur. Intinya dia bukan orang sembarangan. Tapi lagi-lagi sayang, kenyataan memang kadang-kadang tak selalu seperti yang kita inginkan.
Sementara itu, wajah orang-orang yang tidak saya kenal terpampang nyata di tepi jalanan Kota Pontianak.Â
Spanduk berbagai jenis ukuran tertancap di mana-mana. Gayanya pun macam-macam. Ada yang mengatupkan kedua tangan seperti lebaran idulfitri, ada pula yang berdiri dengan gagah sambil menampakkan senyum yang tampaknya penuh dengan janji.
Ketika Pileg 2019 berakhir dan para kampiun telah dilantik, dari situ saya tahu bahwa semakin besar ukuran spanduk, semakin besar pula kesempatan menang.Â
Semakin kecil spanduk, berarti jangan banyak berharap. Apalagi Bruce, dia hanya bisa mencetak kartu nama dengan bahan yang paling murah. Kejam, tapi begitulah adanya.
Maka menurut perspektif saya tentang Pileg 2024, keadaannya tak akan jauh berbeda. Tak akan ada hal baru soal pemilihan legislatif ini selain siapa yang paling tebal kantongnya.Â
Terus bagaimana kalau ada orang yang punya banyak uang tapi belum punya pengaruh? Jawaban saya adalah "pengaruh" itu bisa dibeli.
Suatu waktu di tahun 2023 ini, saya sempat melihat seorang rekan yang telah mendaftarkan diri sebagai calon wakil rakyat sedang sibuk mengerjakan, menyortir, dan menyusun dokumen yang diperlukan untuk partainya (partai tempat ia bernaung belum bisa dikatakan sebagai partai besar).Â
Kegiatan itu dilakukannya di kediaman pribadi. Semangat berapi-api ia tunjukkan kepada dunia. Keren. Menurut saya apa yang dilakukan orang tersebut adalah hal yang hebat, karena keikhlasan adalah barang langka pada zaman ini.
Lain waktu seorang rekan lain yang "berbaju besar" sedang melakukan rapat koordinasi dan pembinaan calon legislatif di sebuah tempat yang kondusif.Â
Ia juga mendapatkan konsumsi yang layak ketika mengikuti kegiatan tersebut. Pokoknya berkebalikan jauh dengan contoh pertama yang saya jabarkan.
Meski saya sangat ingin teman saya yang dari partai kecil itu menang, tapi jika disuruh bertaruh maka saya akan memasang taruhan kepada rekan-rekan yang "berbaju besar", saya yakin mereka akan banyak menang daripada orang-orang yang naik "perahu baru".
Tapi kalau ditanya jika adu pemikiran, siapa yang akan menang antara rekan-rekan yang "berbaju besar" dengan kawan-kawan saya yang naik "perahu baru"?Â
Maka dengan yakin saya mengatakan "perahu baru" akan menang. Ini dalam lingkup pertemanan, saya ulangi sekali lagi. Saya tidak akan melakukan generalisasi. Ini empiris, dan saya tahu seperti apa kapasitas orang-orang yang telah disebutkan.
Pada akhirnya meski sampai pontang-panting seseorang memikirkan bagaimana caranya membuat aturan yang berguna untuk masyarakat.
Namun tidak didukung dengan finansial yang luar biasa, maka itu cuma mimpi di siang bolong, dalam hal ini bermimpi sebagai calon wakil rakyat yang terhormat di gedung sana. Saya mengatakannya karena kira-kira seperti itulah matematika versi manusia.
Lebih dari itu semua kita tetap harus yakin bahwa: "Lu punya duit, Allah subhanahu wa ta'alaa tetap pemegang segala kuasa."
----
Dicky Armando, S.E. - Pontianak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H