Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisah Takziah

5 Juni 2023   09:49 Diperbarui: 5 Juni 2023   10:06 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Pixabay.com

Suatu sore, beberapa waktu lalu, sejumlah teman masa SMA menghubungi saya untuk mengonfirmasi tentang kabar meninggalnya seseorang.

Sejak lulus SMA, akhir tahun dua ribu lima, saya menjadi semacam "pusat informasi" yang berhubungan dengan mantan sekolah yang sangat kami cintai itu, karena rumah orang tua saya yang paling dekat. Loncat pagar langsung sampai.

Namun berjalan waktu, saya pun harus pindah demi mencari rumah pribadi untuk keluarga kecil saya, sehingga kabar-kabar tentang mantan sekolah dan teman-teman tanpa sengaja terputus.

Oleh karena itu, saya sendiri terkejut ketika kawan-kawan lama bertanya tentang kebenaran kabar meninggalnya seorang teman kami yang bernama Pram (bukan nama sebenarnya). Namun saya mencoba bertanya kepada banyak sumber termasuk guru-guru kami. Singkat cerita bahwa kabar mengenai Pram adalah benar adanya.

Saya menyampaikan kepada teman-teman di grup WA tentang kabar tersebut. Ada pula beberapa rekan yang saya kabari secara langsung. Uniknya adalah bahwa hanya sedikit orang yang bereaksi. Ada pula yang merespons, tapi terasa biasa saja, tak tampak tanda-tanda simpati soal kehidupan.

Lama saya berpikir, ternyata beginilah dunia. Benar kata orang, ketika kita meninggal, tersisa hanya amal mendampingi. Sementara itu yang lainnya melanjutkan hidup, beberapa di antaranya masih bersedih, sebagian lagi sekadar mengenang saja, kemudian orang yang meninggal akan benar-benar terkubur di dalam waktu dan lupa. Dalam hati saya bertanya-tanya: "Untuk apa berlelah diri membangun citra di hadapan manusia?"

Sungguh sia-sia ....

Maka setelah salat isya, saya segera bergegas melakukan takziah ke rumah duka si Pram. Sampai di sana sudah ramai, sepertinya pihak masjid dan keluarganya sudah mulai membaca doa. Saya menunggu di luar sembari memerhatikan siapa saja yang datang. Kebanyakan tidak saya kenali.

Hati saya menjadi gembira karena ternyata banyak orang, tidak termasuk teman-teman SMA kami, yang datang mendoakan Pram dan menguatkan keluarganya. Sungguh pemandangan yang mengharukan.

Setelah menunggu beberapa saat, sekitar dua puluh orang, teman-teman SMA akhirnya datang untuk menyatakan belasungkawa kepada pihak keluarga Pram. Orang-orang ini, kalau dihitung-hitung, telah lama tak pernah saya temui. Barangkali kami belasan tahun tak pernah bertemu lagi sejak acara kelulusan.

Nama dari beberapa di antara mereka, saya sudah lupa, tapi wajahnya sangat familiar. Ketika sedang duduk di antara teman-teman lama itu, saya kembali berpikir, betapa sedikit jumlah kami yang datang. Dibandingkan banyaknya siswa seangkatan dulu, hari itu jelas tak sebanding. Tapi lagi-lagi saya teringat, begitulah hidup. Setiap manusia punya prioritas masing-masing, dan merupakan hak mutlak siapa saja. 

Setelah berpikir seperti itu, tetap saja hati saya nyeri. Sedih. Saya sendiri berusaha menyempatkan waktu untuk datang takziah karena selain memberikan dukungan moral terhadap keluarga Pram yang ditinggalkan, juga sebagai pengingat diri agar tidak sombong menjalani hidup: kita semua akan berakhir di dalam pusara.

Saya dan kawan-kawan lama melanjutkan "temu kangen" kami yang tak disengaja itu ke sebuah warung kopi. Di sana saya akhirnya "mengenal" kembali siapa saja mereka yang sempat terlupakan, dan banyak kabar terbaru mengenai teman-teman lain. Sementara itu, kami menghitung sudah empat orang termasuk Pram yang sudah kembali ke pangkuan Allah subhanahu wa ta'alaa.

Kabar-kabar yang saya dengar pun lumayan fantastis. Ada cerita tentang teman yang sudah kembali ke "jalan" yang benar, ada pula yang belum menikah, ada juga yang sudah jadi janda, ada yang sudah sukses karir atau bisnisnya, dan lain-lain.

Saya memerhatikan wajah teman-teman masa sekolah yang hadir. Muncul beragam pertanyaan dalam benak saya. Apakah saya masih bisa bertemu mereka lagi? Ataukah mereka yang tak bisa bertemu saya lagi? Di balik rasa senang bisa reuni mendadak, muncul pula kegalauan seperti ini, mungkin karena faktor umur. Lebih tepatnya: umur manusia siapa yang tahu?

Ketika jam tangan menunjukkan pukul sebelas malam, kami semua berpamitan, bersalaman dengan akrab, dan meminta maaf jika ada kesalahan pada kalimat-kalimat canda yang terlempar sebelumnya.

Di atas sepeda motor, saya menoleh ke belakang untuk menengok teman-teman sekali lagi. Berusaha mengingat dan menyimpan momen. Saya tak tahu apakah mereka melakukan hal yang sama. Tapi bagi saya, detik-detik seperti itu sangat berharga.

Kemudian satu per satu kami beranjak pulang, melintasi gelap malam menuju peraduan. Kembali mengejar mimpi yang nanti akan kami ceritakan lagi di permukaan meja kopi.

----

Dicky Armando, S.E. - Pontianak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun