Nama dari beberapa di antara mereka, saya sudah lupa, tapi wajahnya sangat familiar. Ketika sedang duduk di antara teman-teman lama itu, saya kembali berpikir, betapa sedikit jumlah kami yang datang. Dibandingkan banyaknya siswa seangkatan dulu, hari itu jelas tak sebanding. Tapi lagi-lagi saya teringat, begitulah hidup. Setiap manusia punya prioritas masing-masing, dan merupakan hak mutlak siapa saja.Â
Setelah berpikir seperti itu, tetap saja hati saya nyeri. Sedih. Saya sendiri berusaha menyempatkan waktu untuk datang takziah karena selain memberikan dukungan moral terhadap keluarga Pram yang ditinggalkan, juga sebagai pengingat diri agar tidak sombong menjalani hidup: kita semua akan berakhir di dalam pusara.
Saya dan kawan-kawan lama melanjutkan "temu kangen" kami yang tak disengaja itu ke sebuah warung kopi. Di sana saya akhirnya "mengenal" kembali siapa saja mereka yang sempat terlupakan, dan banyak kabar terbaru mengenai teman-teman lain. Sementara itu, kami menghitung sudah empat orang termasuk Pram yang sudah kembali ke pangkuan Allah subhanahu wa ta'alaa.
Kabar-kabar yang saya dengar pun lumayan fantastis. Ada cerita tentang teman yang sudah kembali ke "jalan" yang benar, ada pula yang belum menikah, ada juga yang sudah jadi janda, ada yang sudah sukses karir atau bisnisnya, dan lain-lain.
Saya memerhatikan wajah teman-teman masa sekolah yang hadir. Muncul beragam pertanyaan dalam benak saya. Apakah saya masih bisa bertemu mereka lagi? Ataukah mereka yang tak bisa bertemu saya lagi? Di balik rasa senang bisa reuni mendadak, muncul pula kegalauan seperti ini, mungkin karena faktor umur. Lebih tepatnya: umur manusia siapa yang tahu?
Ketika jam tangan menunjukkan pukul sebelas malam, kami semua berpamitan, bersalaman dengan akrab, dan meminta maaf jika ada kesalahan pada kalimat-kalimat canda yang terlempar sebelumnya.
Di atas sepeda motor, saya menoleh ke belakang untuk menengok teman-teman sekali lagi. Berusaha mengingat dan menyimpan momen. Saya tak tahu apakah mereka melakukan hal yang sama. Tapi bagi saya, detik-detik seperti itu sangat berharga.
Kemudian satu per satu kami beranjak pulang, melintasi gelap malam menuju peraduan. Kembali mengejar mimpi yang nanti akan kami ceritakan lagi di permukaan meja kopi.
----
Dicky Armando, S.E. - Pontianak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H