Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rahasia Bengkel

25 Mei 2021   23:18 Diperbarui: 25 Mei 2021   23:31 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Pixabay.com

Ada enam musim di Kota Pontianak; musim kemarau, hujan, rambutan, durian, langsat, dan maling. Sekarang, ketika pandemi Corona melanda seluruh dunia, kota ini sedang berjuang melawan kasus-kasus pencurian. Perekonomian runtuh, dompet oleng, dan masih banyak lagi kemunduran berbagai bidang kehidupan.

Bengkel sepeda motor di seberang gang rumahku termasuk yang terkena dampak ekonomi. Pengunjungnya tak seramai sebelum pandemi bermula. Pemilik tempat dan usaha itu bernama Joni Setak. Ia sahabat baikku sejak masih bocah.

Joni sejak dulu tak pernah banyak bicara. Ia banyak senyum, dan mengangguk-angguk. Intinya Joni tak suka pertengkaran atau keributan. Prinsip ini sebenarnya bagus, tapi itu pula yang membuatnya ditindas ketika masih bekerja sebagai teknisi serba bisa di ibu kota.

Membela diri dengan bersilat lidah hanya buang-buang energi dan waktu menurutnya. Sampai di suatu titik Joni menyadari ia tidak cocok bekerja dalam lingkungan kerja perkantoran di Indonesia.

Aku akui bahwa Joni sangat cerdas. Ketika masih SMA, ia pernah membuat sebuah prototipe mobil mewah, dengan ukuran lebih kecil, tanpa bantuan siapa pun. Aku perjelas, dia membuatnya sendirian di dalam garasi rumah orang tuanya. Benda tersebut berjalan dengan mulus, tanpa suara ribut dan asap. Keren! Meski akhirnya mobil itu dihancurkan juga. Ketika kutanyakan mengapa, ia menjawab: "Kau pikir orang-orang kita akan menghargai hal seperti ini? Tak akan! Mereka lebih suka produk luar negeri!"

Tak bisa aku berucap mendengar kata-katanya.

Masuk ke perguruan tinggi, Joni semakin mahir. Dia pernah menunjukkan kepadaku sebuah senjata yang aku tak tahu harus disebut apa. Benda itu sangat futuristis; silinder besi sepanjang satu meter yang bisa mengeluarkan peluru-peluru kecil berdaya ledak besar. Gila! Otak Joni benar-benar cemerlang, tidak cocok dengan matanya yang sendu seperti orang habis kena tinju.

Jujur, pada akhirnya aku tak mengerti bagaimana bisa ia terdampar di sebuah perusahaan yang mempekerjakannya sebagai teknisi pendingin udara, tukang cat merangkap tukang kayu, dan kadang-kadang sebagai teknisi mesin cetak komputer.

***

Entah dengan alat apa, Joni berhasil merekam wajah banyak pelaku pencurian ketika ia melakukan kejahatan. Alhasil, penjara nyaris penuh. Rumor sampai ke telinga ketua "Asosiasi Pencuri Pantang Mundur". Joni sekarang jadi daftar pencarian nomor satu oleh maling-maling di Kota Pontianak.

Satu minggu sebelum kabar burung itu sampai ke telinga para maling, Joni mengajakku makan siang di bengkelnya. Sembari menikmati rendang dan perkedel jagung, Joni memberikan satu jam tangan digital kepadaku.

"Buatanku sendiri. Edisi terbatas," jelas Joni.

"Ini tidak keluar peluru, bukan? Atau mungkin bisa keluar baling-baling dan bisa terbang?" tanyaku. Tentu aku tidak mau ketika sedang buang air besar di toilet umum, benda itu meledak tak karuan.

"Tidaklah! Jangan terlalu khawatir. Itu jam tangan, penunjuk waktu, cocok untukmu yang sering datang terlambat. Hadiah untukmu karena sering membantuku."

Joni tahu betul kebiasaanku yang satu ini. Maka ketika masuk SMP, dia pernah membuat sebuah sepeda yang dilengkapi dengan "mesin jet". Bukan mesin sesungguhnya yang dipakai pada pesawat, tapi mirip-miriplah. Kencang betul benda itu setiap pagi, membelah cahaya mentari dengan kecepatannya.

Aku menanyakan sebenarnya ada perlu apa ia memanggilku. Joni, kalau ada perlu mendesak apa pun, kami selalu menyelesaikannya di meja warung kopi.

Dia mendapat berita dari sumber terpercaya bahwa ia akan dibunuh oleh ketua para pencuri karena telah banyak membantu tugas penegak hukum.

"Kalau terjadi apa-apa padaku, tolong kau amankan benda di kamar ini," ujar Joni sambil menyeretku ke kamarnya.

Kamar itu gelap, tapi perlahan aku bisa melihat seperti sosok manusia yang sedang berdiri. Tubuhnya mengkilap warna perak, tegap, gagah, dan begitu dingin. Itu adalah sebuah robot.

Joni bilang kalau sebenarnya itu ada model robot percontohan untuk mempermudah tugas kuli bangunan. Kalau manusia hanya bisa mengangkat sejumlah karung semen, maka robot ini bisa melakukan lima kali lipatnya.

"Jadi kau mengerti, Kurap?"

Aku mengangguk mantap. Sebenarnya namaku Julkipli, dan hanya Joni yang berani memanggilku "Kurap", karena waktu kecil dulu tubuhku banyak kurap, dan hanya Joni yang tidak takut padaku, tentunya dengan kompensasi panggilan yang tak sedap itu. Hanya Joni pula yang selalu berbaik hati mengolesi obat salep ke sekujur tubuhku sampai sembuh. Bahkan kepala panti asuhan tempatku bernaung tak pernah sudi melakukannya, padahal kata orang-orang, beliau itu orang baik.

***

Kampung Kepo heboh. Joni sudah hilang dua hari! Aku langsung teringat pesan sahabat baikku itu. Malam hari aku mengendap seperti pencuri masuk kedalam rumahnya yang terletak di belakang bengkel. Tak ada siapa pun di dalam rumah, kami berdua hidup sebatang kara sejak lama.

Sampai di kamarnya, aku langsung mengangkat robot kuli yang dibanggakan Joni. Aneh, benda ini ringan. Karena tidak terlalu jauh, maka rongsokan besi berbentuk manusia itu sekarang sudah berada di kamarku.

Karena kupikir tak ada lagi yang harus kulakukan, maka aku segera beranjak tidur. Baru saja mata kupejamkan, terdengar teriakan Bu Romlah, pedagang sayur keliling, tempat tinggalnya persis di depan rumahku.

Dengan gagah perkasa aku keluar rumah sambil membawa panci dan tongkat kayu. Malang, ternyata pencurinya lima orang, aku kalah jumlah, tetangga lain kalah nyali dan memilih lanjut tidur.

Detak jantungku meningkat, keringat mengalir deras. Aku ingin teriak tapi tak bisa. Maling-maling tersebut sekarang sedang mengibaskan senjata tajamnya. Tiba-tiba jam tanganku memancarkan cahaya merah seiring denyut nadi yang beradu cepat.

Potongan-potongan besi menembus kaca jendela kamarku, kemudian mereka mengitari tubuhku, satu per satu lempengan besi mengunci satu sama lain mulai dari kepala sampai ujung kakiku.

Aku bingung, para pencuri bukannya lari, mereka malah ternganga. Sementara tetangga tetap jadi penonton yang pengecut.

Para maling mulai panik ketika tubuhku yang sudah seperti satria perak, terbang ke angkasa sambil membidik mereka dengan alat semacam senapan yang keluar dari lenganku.

Tak kusia-siakan, cukup dengan perintah dari pikiran saja, aku langsung menembakkan peluru tajam ke arah bedebah-bedebah itu.

Kemudian di layar helm bagian dalam aku mencoba memindai dari ketinggian langit Pontianak, mencoba mencari kemiripan bentuk tubuh Joni. Dapat! Ia tampaknya sedang disekap di sebuah rumah di Jalan Ikan Jolong Jolong. Segera aku terbang ke tujuan.

Sampai di sana, tepatnya di atas atap rumah kayu yang sepertinya sudah lama dijadikan tempat persembunyian ketua maling. Aku langsung menggunakan mode tembus pandang. Tampak ada sepuluh orang, satu di antaranya sedang terbaring di lantai, terikat. Muka Joni yang sombong tampak lebih runyam ketika babak belur. Aku tertawa sejenak.

Aku memilih senapan otomatis yang bisa menembakkan seribu peluru dalam satu menit. Tak perlu lama berpikir, langsung saja kutembakkan dari luar. Ribut sebentar, lalu sunyi. Hanya satu suara yang terdengar dari rumah kayu reyot itu.

"Kenapa lama sekali, Kurap? Bangsat kau!"

----

Dicky Armando, S.E. - Pontianak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun