Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penjahat yang Membiayai Gengsi

11 April 2020   00:27 Diperbarui: 11 April 2020   00:45 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay.com

Masih ingat tentang kasus First Travel yang merugikan banyak orang? Apakah pelakunya bisa disebut penjahat? Dalam perspektif saya: iya!

Tapi saya tidak akan akan bicara lebih banyak soal kasus fantastis tersebut, melainkan pada lingkup kecil dalam keseharian manusia.

Saya telah melihat keruntuhan orang-orang kaya: menjadi miskin mendadak. Penyebabnya banyak hal. Di lingkungan pergaulan saya, kebanyakan kasus seperti ini diakibatkan gaya hidup tidak seimbang antara penghasilan dengan pembelanjaan mereka.

Hedonisme, "rasa ingin diakui", dan "agar tampak seperti orang kaya" telah menjebak sejumlah orang ke dalam situasi yang tidak menyenangkan.

Ada sebuah kisah dari negeri nun jauh di sana. Hiduplah seorang wanita cantik yang telah tergoda dengan kehidupan "gemilang". Entah bagaimana, sejak lama ia telah salah memilih pergaulan yang membuatnya terkapar di pusara utang.

Nama wanita tersebut, kita sebut saja Boa (diambil dari nama karakter dalam manga One Piece). Boa punya pekerjaan dengan bayaran yang sebenarnya cukup untuk seorang lajang. Tapi coba tebak ciri khas manusia? Ya, betul. Manusia selalu ingin "tampak lebih".

Membiayai gengsi tentu tak mudah bagi golongan orang yang tidak memiliki aset aktif, tidak bergaji besar, atau tidak berinvestasi di saat muda. Boa termasuk dalam golongan "tidak" ini, dan tetap memaksa diri untuk tetap berada di bawah sinar lampu sorot.

Berutang adalah opsi paling masuk akal dalam pikiran Boa, meski sebenarnya dia bisa "jual diri" kalau saja mau. Kemudian ia meminjam sejumlah uang dari beberapa teman-nya. Berjalan waktu, Boa melakukan wanprestasi.

Sikap Boa ini tentu menjadi duri di hati orang-orang yang telah meminjamkannya uang. Tidak bisa dituntut karena tidak memiliki perjanjian tertulis, dan atas nama "pertemanan". Boa mencari banyak cara--termasuk alasan yang tak masuk akal--agar bisa terus mengulur waktu pembayaran utangnya.

Singkat cerita, ia kehilangan banyak kepercayaan dalam lingkungan sosial. Cerita itu telah menyebar lewat udara seperti virus.

***

Kisah ini benar-benar terjadi. Tepatnya beberapa tahun lalu. Saya selalu membenci tokoh seperti Boa. Saya tidak menghakimi gaya hidupnya selama ia mampu, melainkan "cara" yang digunakannya untuk menipu banyak orang. Menggunakan banyak alasan tak masuk akal--dalam perspektif saya--adalah metode kejahatan.

Pertanyaannya: "Apakah Boa bisa dianggap penjahat?"

Saya mengutip dari artikel yang ditulis oleh Margaretha, berjudul "Mengapa orang melakukan kejahatan?", diterbitkan di psikologi(dot)unair(dot)ac(dot)id, pada tanggal 19 Maret 2013: "Kejahatan sering diartikan sebagai perilaku pelanggaran aturan hukum akibatnya seseorang dapat dijerat hukuman. Kejahatan terjadi ketika seseorang melanggar hukum baik secara langsung maupun tidak langsung, atau bentuk kelalaian yang dapat berakibat pada hukuman. Dalam perspektif hukum ini, perilaku kejahatan terkesan aktif, manusia berbuat kejahatan. Namun sebenarnya "tidak berperilaku" pun bisa menjadi suatu bentuk kejahatan, contohnya: penelantaran anak atau tidak melapor pada pihak berwenang ketika mengetahui terjadi tindakan kekerasan pada anak di sekitar kita."

Artikel tersebut juga menjelaskan pelaku kejahatan adalah orang yang melakukan tindakan melanggar hak dan kesejahteraan hidup seseorang.

Mengingat saya bukan ahli hukum, bahkan sangat awam soal hukum pidana maupun perdata, namun definisi mengenai pelaku kejahatan yang dijelaskan dalam artikel tersebut sudah cukup mencerahkan.

Maka jawaban atas pertanyaan sebelumnya adalah: "Ya, Boa adalah penjahat."

Katakanlah terlalu berlebihan kalau mengatakan ia penjahat, setidaknya dia merupakan debitur yang sangat buruk.

Masih terlalu berlebihan?

Baik, dia merupakan perwujudan peribahasa "besar pasak daripada tiang". Fair enough? 

---

Pontianak, 11 April 2020

Dicky Armando, S.E.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun