Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Solusi untuk Guru yang Tinggal di Toilet Sekolah

16 Juli 2019   14:52 Diperbarui: 16 Juli 2019   15:09 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apakah benar siapa pun di negara ini baru terketuk hatinya ketika berita muncul?"

Begitu otak saya mengajukan pertanyaan, setelah membaca berita tentang Bu Nining Suryani, seorang guru di SDN Karyabuana 3, Kabupaten Pandeglang. Atau jangan-jangan otak saya sedang mengkritik diri sendiri yang sering tak peduli dengan lingkungan sekitar.

Bu Nining ini disebut "guru honorer", tapi saya hanya akan menyebutnya "guru" tanpa tambahan kata atau istilah lainnya. Saya tidak suka membedakan orang lain, apalagi seseorang terdidik seperti beliau.

Beberapa hal yang saya ketahui mengenai Bu Nining adalah: sudah menjadi guru selama empat belas tahun (bukan PNS), gajinya tiga ratus lima puluh ribu rupiah (dibayar per tiga bulan), punya dua anak, seorang sarjana, dan tinggal di toilet sekolah.

Saya tulis ulang, ya: TOILET SEKOLAH. 

Baik, saya khawatir dianggap terlalu tendensius jika menanyakan di mana peran negara beserta pejabat-pejabatnya yang terhormat dalam hal ini. Coba kita ganti pertanyaannya seperti ini: "Di mana hati nurani kita sebagai manusia?"

Seorang teman saya menjawab pertanyaan itu dengan cukup samar, "Bro, banyak orang di negara ini yang tempat tinggalnya tidak layak. Itu kebetulan saja ada yang memberitakan."

Itu dia letak masalahnya, seperti yang otak saya pertanyakan pertama kali. Kenapa setelah muncul di berita baru mendapat perhatian? Ataukah kita terlalu menganggap biasa hal-hal yang tidak muncul di media cetak maupun online? 

Sebenarnya banyak pertanyaan di otak saya. Tapi sudahlah, mungkin lebih baik bicara soal solusi saja. Anggap di lingkungan sekitar tempat tinggal saya terdapat orang-orang seperti Bu Nining. Apa yang bisa saya lakukan? Memberi sumbangan? Jelas mereka bukan pengemis! Mereka tidak butuh belas kasihan, melainkan kejelasan peluang kerja demi menyejahterakan  dirinya dan keluarga.

Seandainya ada orang seperti Bu Nining di lingkungan saya, maka saya akan membantu mencari informasi lowongan kerja di tempat lain yang lebih layak. Mungkin bukan pekerjaan bergaji besar, namun setidaknya tidak memberikan harapan atau mimpi diangkat jadi PNS. Kalau Anda akan melakukan apa? 

Saya yakin para pembaca pun punya banyak solusi jika menemukan orang-orang seperti Bu Nining, saya mencoba meyakini bahwa masih banyak orang baik di negara ini. Maka kita beranjak ke pertanyaan selanjutnya.

Setelah masyarakat (saya dan pembaca lain) punya solusi, apa yang akan dilakukan pemerintah? 

Apa pun jalan keluar yang ditawarkan pemerintah, saya berharap jangan sibuk memberikan pernyataan di media apa pun. Tunjukkan kalian masih punya hati! 

Kalau pemerintah masih bingung, sebagai warga negara yang baik, saya akan menyumbangkan ide. 

Dengan pendanaan yang baik--saya yakin negara kita kaya raya--pemerintah dapat membuat sebuah lembaga pendidikan terbesar di Indonesia yang karyawannya adalah para guru yang tidak berstatus sebagai PNS. Kemudian guru-guru tersebut dipromosikan secara berkala kepada masyarakat bahwa mereka bisa membantu memberikan pengajaran tambahan di luar sekolah dengan biaya bersaing. 

Para guru dalam lembaga itu diberikan upah dengan layak sehingga mereka tidak harus tinggal di toilet sekolah. Lembaga pendidikan ini disebar secara merata ke seluruh negeri, baik kota maupun pelosok, dalam rangka peningkatan pendidikan.

Proses perekrutan guru di lembaga tersebut juga tidak boleh sembarangan, selain bisa mengajar, tapi juga harus mampu mendidik, dan paling penting memang berniat menjadi guru. Karena percaya atau tidak, sebagian orang yang belajar di fakultas keguruan, belum tentu berniat murni menjadi guru.

Guru adalah pekerjaan mulia, tapi entah sejak kapan--dalam sudut pandang saya--ada oknum yang menjadikan profesi tersebut sebagai penopang hidup saja, tidak sebagai pengabdian.

Saya bermimpi ide dari orang awam seperti saya ini bisa terealisasi. Saya pun meyakini, selain kemampuan berpikir yang cetar membahana dari semua elite pemerintah, diperlukan juga hati yang murni untuk mewujudkan program pro rakyat.

Bagaimana dengan Anda?

****
Pontianak, 16 Juli 2019

(Dicky Armando)

---

Referensi:
*Gunadha, Reza. "Nining, Guru Honorer di SD Pandeglang Ini Tinggal di Toilet Sekolah". Suara Banten, 2019. Web. Diakses 16 Juli 2019. banten.suara.com 

*Lesmana, A.S. "Jerih Payah Guru Honorer Tinggal di WC: Bergelar S1 Tapi Gagal Jadi PNS". Suara Banten, 2019. Web. Diakses 16 Juli 2019. banten.suara.com 

*Nazmudin, Acep. "Cerita Guru Honorer di Pandeglang, Dua Tahun Tinggal di Toilet Sekolah karena Rumah Roboh".  2019. Web. Diakses 16 Juli 2019. regional.kompas.com 

*Rifa'i, Bahtiar. "Tinggal di WC SD, Guru Honorer di Pandeglang Bergaji Rp 350 Ribu/Bulan". Detiknews, 2019. Web. Diakses 16 Juli 2019. news.detik.com 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun