Malam minggu malam yang panjang. Begitu kira-kira lirik lagu dangdut yang dulu pernah saya dengar di pasar. Entah apa judulnya. Tapi kali ini, saya memastikan diri mengisinya dengan hal berguna: mendatangi acara peluncuran buku Revolusi Oktober 1946 di Kalimantan Barat, yang diselenggarakan di Warunk HR, Jalan Reformasi, Kota Pontianak.
Dalam selebaran digital, tertulis acara dimulai pukul setengah tujuh malam, meski pelaksanaannya kira-kira pada pukul setengah delapan lewat. Tak apalah, semenjak menikah, saya sudah jarang menikmati romansa kafe atau warung kopi. Rindu juga.
Konsep acara kekinian di kafe-kafe sebenarnya bukan barang baru, apalagi kalau bicara soal musik. Tapi diskusi tentang keilmuan? Ehm ... jujur saya agak sangsi, kecuali ukuran ruangannya tidak terlalu besar, dan tidak terbuka.
Enggang Media sendiri--penerbit buku yang bersangkutan--juga telah mengadakan banyak acara sejenis, tapi kala itu di warung kopi yang ukurannya mumpuni untuk terhindar dari bias. Maksud saya, interaksi antara narasumber dan audiensi bisa berlangsung akrab.
Saya mengucapkan selamat kepada Rikaz Prabowo atas terbitnya karya ini, semoga menjadi pemicu generasi muda untuk lebih mendalami sejarah lokal (Kalimantan Barat). Jarang-jarang pemuda Kalimantan Barat yang mengkhususkan diri untuk menelurkan buku berbau sejarah, kebanyakan fiksi, baik puisi, cerpen, dan novel.
Diawali dengan penampilan grup musik, dua lagu, kemudian maju perwakilan dari Penerbit Enggang Media, dia bernama Varli Pay Sandi. Seorang dedengkot pegiat literasi di daerah ini. Katanya, nama beliau sudah terkenal di alam dunia nyata maupun gaib.
Setelah bercuap-cuap, giliran Rikaz Prabowo dan Pak Yusri Darmadi maju ke panggung. Di balik penampilannya yang kalem, Pak Yusri yang bekerja sebagai peneliti sejarah ini cukup tajam saat mengkritisi karya Rikaz. Mulai dari sampul sampai isi.
Intinya, diskusi berlangsung sangat berbobot. Tapi, saya terganggu dengan keadaan sekitar, sejumlah peserta diskusi bicara dengan teman-temannya yang lain, sepertinya bukan tentang pembahasan keilmuan, melainkan tentang gadget yang sedang mereka mainkan. Saya merasa sangat risih.
Dalam sesi tanya-jawab, maju seorang sastrawan senior Kalimantan Barat. Ia menanggapi karya Rikaz, sambil juga mengkritisi keadaan para peserta yang sibuk sendiri. Ternyata bukan kegelisahan saya seorang.
Rikaz Prabowo tampil dengan percaya diri, mengenakan topi dan baju biru berpola kotak-kotak. Lancar saja ia menjelaskan isi bukunya.