`Pernah aku meminta hujan di saat gelap, karena di situlah saya menemukan kehangatan. Pernah pula aku meminta terang di saat siang , karena di situlah saya menemukan keteduhan Tapi selalu kau ingat, berapa kali saya meminta sesuatu yang tidak kau kabulkan, atau kenyataan yang kuingin berubah sementara mataku sendiri masih tertutup tanpa sedikitpun sadar atas rencana MU yang sempurna Tuhan…?
Tubuhku, jiwaku, ghirahku, dan nafsuku …seakan mengalir tanpa ada kuasaku di dalamnya..Hanya kau, hanya kau yang menjatuhkan sebulir biji padi dari tangkainya, atau menggerakkan dedaunan dari tempatnya semula setelah angin mendesirnya. atau hujan yang seketika menjadi oase padang pasir yang menyala-nyala..setelah kau biarkan panas menjojoh kepala bumi dengan serakah.
Dan apabila Dia menginginkan sesuatu, maka sesungguhnya ia akan mengatakan jadilah maka jadilah..dan sesungguhnya segala puji atas genggamannya segala kekuasaan atas sesuatu dan padanya pulalah semuanya akan kembali…. Sungguh betapa malunya kami yang tidak pernah tahu tanpa sadar telah luput memperhatikan kehadiranmu dalam hidup sementara kami dengan kuasa kami pun tidak pernah sanggup membersihkan najis-najis dari semua lubang yang ada di dalam jasad yang hina ini atau sekedar bertahan mengekang diri untuk tidak mengatup mata..
Betapa bodohnya kami, wahai Dzat yang agung, telah meremehkan surat cintamu , surat yang kau tulis dengan bahasa kami, bahasa yang mempersatukan kami dalam rasa yang sama , Lafadz yang sama dan desahan nafas yang sedemikian beda. .., sungguh kami terasa malu Tuhan, telah menganggap kamu sebagai ahli bahasa yang menganggumi bahasa kami, sehingga tunduk untuk mengikuti kami sebagaimana bercakap… sungguh kami masih awam untuk mengartikan lebih surat cintamu
…surat cinta yang sebegitu bangganya bersemayam di ujung pangkal lidah kami atau hanya sebagai penutup simpati duka cita..atau begitu dzalimnya makhluk hinamu ini yang penuh kelancangan mencecerkan surat cintamu di jalanan, selokan, bahkan hingga gang-gang tikus yang penuh dengan kegelapan, maafkan kami atas ketidakmampuan kami menjaga surat cintamu, surat cinta yang telah lapuk di makan saudara-saudara kami sendiri yang begitu bersemangatnya menggusur hakMu untuk menentukan siapa yang wajib untuk bertemu denganMu , atau pula atas kelusuhan dari darah-darah yang saudara kami aliri atas nama birahi untuk bertemu denganMu .
Maafkan kami atas kelancangan kami, membacakan surat cintamu tidak setiap waktu, kami tahu kau sangat pencemburu, Engkau maki kami dengan musibahMu , kau hina kami dengan azabMu, sementara Engkau menyisipkan kekuasaanMu bagi kami ketika menghadapinya.
…Sungguh atas air mata yang semakin mengering dan hati yang telah membeku, bersihkanlah kami dengan rasa malu, sucikanlah kami dengan banyak rasa iba dan satukanlah kami dengan segala perbedaan. Sungguh kami bersyukur, cukup Engkau saja yang Esa…
Jogjakarta, 7 mei 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H