Mohon tunggu...
Arman Marwing
Arman Marwing Mohon Tunggu... -

Arman marwing, S.Psi., M.A. : Pegiat psikologi klinis dan Sosial. Peneliti Psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Kota (Dunia) Layak Anak”

13 Agustus 2013   20:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:20 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah konstelasi politik kota Makassar yang semakin meninggi, patut disimak pula jargon politik yang diusung salah satu pasangan calon walikota dan wakil walikota,sebab disanalah kita dapat menerka arah kebijakan mereka jika kelak terpilih. Salah satu jargon politik yang cukup menarik  yakni “Makassar Kota dunia”. Jika dirunut ke belakang penggunaan jargon tersebut telah digunakan oleh walikota saat ini, Ilham Arief Sirajuddin sebagai visi pembangunan di kota makassar saat awal ia memimpin 9 tahun lalu. Bahkan untuk mencapai visi tersebut, pemerintah kota Makassar menargetkan segera membangun sejumlah fasilitas dan gedung-gedung pencakar langit serta sejumlah titik pusat kota di beberapa lokasi untuk bisa menyamai beberapa kota di dunia pada 2020 (Bisnis Indonesia, 20/05/2013).
Selama ini geliat pembangunan kota dengan citra global coba ditampilkan dengan penataan anjungan losari, revitalisasi karebosi dan pembuatan masjid terapung pertama di Indonesia dan para penyokong visi ini, berkeyakinan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi kota Makassar yang mencapai  9,5 persen, semua visi tersebut dapat terwujud. Namun demikian, tidak sedikit pula yang menyangsikan sekaligus menjadikannya sebagai dagelan politik, sebab faktanya angka-angka bombastis tidak selalu bersinergi dengan fakta lapangan bahwa tingkat kemacetan, kemiskinan, hingga penataan kota makassar dapat dikatakan sangat buruk sekaligus menyedihkan. Tentu situasi ini menyadarkan kita bahwa membangun kota dunia tidak sempit soal gambaran ciri infrastruktur yang menonjol tetapi menurut Patrick Geddes, ketika menganggas world city pada tahun 1915, harus pula mempertimbangkan kriteria world city lainnya, misalnya ciri ekonomi, ciri politik,  serta ciri budaya .Dan untuk menguji ktiterium tersebut, perlu diuji tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas yang ada, misalnya dengan mengajukan pertanyaan, sejauh mana sebuah kota telah menjadi tempat yang layak bagi penghuninya termasuk bagi anak-anak.


Mengapa anak-anak? argumentasinya, selama ini anak-anak merupakan pihak yang paling dirugikan dari pembangunan perkotaan perspektif orang dewasa, zebra cross, halte bus, jembatan penyeberangan tidak membuat aktifitas anak-anak nyaman. Massifnya pembangunan pertokoan (ruko), Mall, perumahan, yang menjadikan sempitnya ruang terbuka hijau untuk aktivitas rekreasi dan bersantai, akibatnya anak-anak lebih memilih bermain game di rumah dan berkurangnya interaksi sosial mereka. Belum lagi sebagai kota industri, makassar, memiliki pabrik-pabrik yang menimbulkan polusi udara dan air.
Sejatinya, pembangunan perkotaan dengan visi apapun termasuk kota dunia (world city) harus berbasiskan perkembangan anak. sebab rentang usia 0-18 tahun merupakan fase kritis dalam pembangunan pondasi suatu bangsa. Petumbuhan kognitif anak berkembang optimal pada 5 tahun pertama termasuk perkembangan daya pikir, penguasaan bahasa serta keterampilan dasar, berlanjut pada  pertumbuhan karakter dan disiplin hingga menginjak usia 12 tahun.

Ketika menginjak remaja, ia akan terus mencari dan memantapkan jati dirinya. Rentang perkembangan anak tersebut hanya akan dapat berkembang secara optimal  sesuai dengan stimulasinya. Pertanyaannya? Bagaimana mungkin kita dapat menciptakan anak sebagai pondasi  bangsa, sementara lingkungan sebagai stimulusnya tidak dirancang dalam mengoptimalkan perkembangan anak?. ketika anak-anak membutuhkan aktivitas fisik dan motorik, untuk tumbuh kembang otot, tulang dan membentuk kepercayaan diri, ruang terbuka hijau justru semakin terbatas dan sulit ditemukan. Dengan alasan yang sama, interaksi sosial dengan teman sebaya pun semakin sulit dilakukan, anak lebih melakukan aktivitas rekreasi yang individual seperti bermain gim daring di rumah, padahal melalui interaksi sosial anak dapat belajar dan mengembangkan kosa kata, kemampuan mendengarkan, bersifat empati, toleransi, kerja sama dan belajari pelbagai nilai-nilai kehidupan. Dampak buruk dari kurangnya ruang berinteraksi sosial secara wajar adalah maraknya tawuran antar mahasiswa maupun warga serta balapan liar yang acapkali terjadi. Dinamika anak muda yang cenderung ditutup-tutupi akibat kebijakan yang represif justru menyebabkan proses pengenalan sosial pada anak menjadi terhambat sehingga dapat meledak menjadi  perilaku negatif.

Belum lagi , kebijakan pembangunan yang berorientasi ekonomi kapitalistik, yang menempatkan mall dan pertokoan sebagai lumbung kapital, justru menciptakan proses brain washing pada anak-anak untuk terjebak dalam sikap konsumtif utamanya terhadap fashion dan perangkat elektronik (gadget) daripada menjadi inovator dan kreator dalam kehidupannya. Inilah ironi pembangunan kota dunia (world city) yang secara parsial mendewakan pembangunan infrastruktur an sich tapi luput membentuk mentalitas sumber daya manusianya. Sebagai sebuah cita-cita, Kota dunia selain membutuhkan usaha sadar membentuk sebuah peradaban kehidupan perkotaan yang lebih maju, juga harus secara konsisten membentuk modal manusia (human capital) dengan memberikan hak setiap warganya terutama anak akan hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan berpartisipasi.


untuk itu perlu langkah-langkah kebijakan yang dapat diupayakan. Pertama, melakukan need assesment, atau penilaian kebutuhan anak, dengan memberikan anak ruang dalam menyampaikan keinginan dan kepentingannya kepada para pemangku kepentingan. Sehingga pada saat pengambilan keputusan benar-benar sesuai dengan kepentingan anak. Kedua, pengarusutamaan hak anak dalam pembangunan. Langkah ini mensyaratkan setiap pemangku kepentingan (stakeholders), menjadikan hak anak dalam proses penyusunan dan perencanaan pembangunan, sebelum mengambil dan memutuskan kebijakan.

Dengan cara seperti itu, sebuah world city tentu pula pantas dijadikan kota layak anak (KLA). sekali lagi, langkah–langkah menciptakan sebuah kota dunia terutama layak anak tercipta apabila terdapat keikhlasan dan ketulusan orang dewasa dalam mengutamakan kepentingan terbaik anak. kita,sebagai warga sekaligus calon pemilih, berharap besar ditengah janji-janji kampanye para kandidat dari sepuluh pasangan calon walikota-wakil walikota Makassar yang ada,  memiliki niat untuk menyusun dan merancang visi kota dunia yang layak bagi anak, bagi generasi penerus bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun