Mohon tunggu...
Money

Biografi Baqr As-Sadr dan Pengertian Teori Madzhab Iqtishaduna

5 Maret 2019   16:50 Diperbarui: 5 Maret 2019   16:57 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Madzhab ini di rintis oleh Baqir as-Sadr dengan bukunya yang liuar biasa iqtishaduna (ekonomi kita). Madzab ini berpendapat bahwa ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan islam. Ekonomi tetap ekonomi, dan islam tetap islam. Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan karena keduanya berasal dari filosofi yang saling berlawanan atau bertentangan. Yang satu anti islam, yang lainnya islam.

 Menurut mereka, perbedaan filosofi ini berdampak pada perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat masalah ekonomi. Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanaya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber daya alam yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumblahnya terbatas. Madzhab Baqir menolak pernyataan ini, karena menurut mereka, islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang dipakai adalah Alquran:

"sungguh telah kami ciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya" (QS Al-Qamar [54]:49). (Karim,2014:30)

Muhammad Baqir As-Sadr lahir di Kadhimiyeh, Baghdad pada tahun 1935. Sebagai keturunan dari keluarga sarjana dan mempunyai kecerdasan tinggi islam syi'ah yang termashur. Ia memilih untuk menuntut pengajaran islam tradisional di hauzah atau sekolah tradisional di irak. Secara intelektualitas, Sadr sangat menonjol sehingga ketika berusia 20 tahun, ia memperoleh derajat ahli ijtihad mutlaq dan selanjutnya meningkat lagi ketingkat otoritas tertinggimarja (otoritas pembeda)

Meskipun mempunyai latar belakang tradisional, Sadr tidak pernah terpisah dari isu-isu pada waktu yang sama. Minat intelektualnya yang tajam mendorongnya untuk secara kritis atau tajam mempelajari filsafat kontemporer, ekonomi, sosiologi, sejarah, dan hukum. Karyanya, falsafatuna (filsafat kita) dan iqtishaduna, memberikan suatu kritik yang komperatif terhadap kapitalisme dan paham ekonomi ataupun sosialisme. Pada saat yang sama, keduanya karya tersebut menggambarkan pandangan dunia islam dengan garis-garis besar sistem ekonomi islam.

Usaha yang dituangkan dalam iqtishaduna menyuarakan suatu filsafat ekonomi pada koleksi hukum legal atau sesuai dengan peraturan prundang-undangan dan hal itu mencerminkan kemampuannya dalam memberikan kehidupan pada hukum-hukum yang tampak sia-sia atau tidak berguna. Ditulis pada 1960-an, iqtishaduna haruslah dipandang sebagai analisis komprehensif dan perbandingan sistem ekonomi dari sudut pandang islam, yang masih digunakan hingga sekarang.

Menurut Sadr, ekonomi islam adalah cara atau jalan yang dipilih oleh islam dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan dalam memecahkan masalah ekonomi praktis sejalan dengan konsepnya tentang keadilan. Bagi Sadr, islam tidak mengurusi hukum permintaan dan penawaran hubungan antara laba dan bunga didalam produksi yang baginya merupakan "ilmu ekonomi".

Dengan demikian, ekonomi islam adalah sebuah ajaran tentang asas suatu aliran politik keagamaan karena ia membicarakan "semua aturan dasar dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai keadilan (sosial)". Demikian pula, sistem ekonomi islam adalah sebuah doktrin karena menurut Sadr, ia berhubungan dengan pertanyaan "apa yang seharusnya" berdasar pada keyakinan, hukum, sentimen, konsep dan definisi islam yang diambil dari sumber-sumber islam. Dalam doktrin ekonominya, keadilan menempati posisi tengah-tengah atau sentra. Keadilan merupakan penilaian moral dan tidak dapat diuji. Sebaliknya, ia merupakan rujukan atau tolak ukur untuk menialai teori, kegiatan dan keluaran ekonomi.

Sadr melihat sistem ekonomi islam sebagai bagian dari sistem islam secara keseluruhan sehingga harus dipelajari sebagai suatu "keseluruhan" interdisipliner, bersama seluruh anggota masyarakat yang merupakan agen sistem islam itu. Ia menyarankan agar orang memahami dan mempelajari pandangan dunia islam lebih dahulu jika ingin mendapatkan hasil yang memuaskan dalam menganalisis sistem ekonomi islam. Dalam pendekatan yang bersifat menjaga inilah Sadr membahas doktrin ekonominya.

Pada pemikiran ekonominya, Sadr membedakan produksi dan distribusi, tetapi ia melihat hubungan keduanya sebagai persoalan sentral dalam ekonom. Jika produksi merupakan proses yang dinamis, yang berubah seiring dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, distribusi dianggap sebagai bagian dari sistem sosial, sistem sosial muncul dari kebutuhan manusia, bukan dari cara-cara produksi. Oleh karena itu, ia menolak pandangan marxis mengenai masyarakat dan perubahan yang menyatakan bahwa dalam masyarakat tersimpan potensi pertentangan kelas. Meskipun sadr mengakui bahwa pendekatan bersifat hukum, tidak berarti ekonomi islam itu sama saja dengan fiqih muamalat ataupun hukum-hukum yang berkaitan dengan kepemilikan. Doktrin ekonomi islam adalah fondasi terbentuknya hukum-hukum yang berhubungan dengan ekonomi. Hukum-hukum tersebut ditetapakn dalam semangat dan berkenaan dengan teori serta konsep yang diwakili oleh doktrin itu.

Dalam hubungan ini, Sadr yakin akan adanya suatu sistem ekonomi yang telah terbentuk dengan sempurna, meskipun secara eksplisit atau terus terang belum dinyatakan dalam sumber hukum islam (Al-Quran, Assunnah, ijtihad, ijma dan Qiyas). Oleh karena itu, Sadr mengemukakan gagasannya berupa proses penemuan. Dalam proses penemuan tersebut, semua hukum dan aturan ekonomi, bersama sejumlah besar konsep yang berhubungan dengan ekonomi dan masyarakat, dipelajari bersama dan dipakai untuk menemukan doktrin ekonomi. (Rianto,2015:111)

Dengan kata lain, jika hukum-hukum telah dikumpulkan, fondasi doktrin hukum-hukum itupun akan ditemukan dalam sumber-sumber islam. Oleh karena itu, diperlukan ijtihad yang dipandang oleh Sadr sangat penting untuk mengisi celah antara prinsip-prinsip yang bersifat tetap atau permanen dan hukum-hukum yang bersifat fleksibel dan mudah menyesuaikan, untuk menentukan batas-batas penyelidikan dan untuk, secara teoristis, mengatur hukum dan konsep dalam suatu keseluruhan yang saling bertalian secara logis. Semua itu membentuk wilayah fleksibel dalam ekonomi islam. (Rianto, 2017: 111)

Dengan demikian, karena segala sesuataunya sudah terukur dengan sempurna, sebenarnya Allah telah memberikan sumber daya yang cukup bagi seluruh manusia di dunia.

Pendapat bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas juga di tolak. Contoh: manusia akan berhenti minum jika dahaganya sudah terpuaskan. Oleh karena itu, madzhab ini berkesimpulan bahwa keinginan yang tidah terbatas itu tifdak benar sebab pada kenyataanya keinginan manusia itu terbatas.

Madzhab Baqir berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya pembagian barang keperluan yang tidak merata dan adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi atau pemanfatan untuk diri sendiri dari pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya, sementara yang lemah tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.

Oleh karena itu, menurut mereka, istilah ekonomi islami adalah istilah yang bukan hanya tidak sesuai dan salah, tetapi juga menyesatkan dan berlawanan atau bertentangan, karena itu penggunaan istilah ekonomi islam harus di hentikan. Sebagai gantinya, ditawarkan istilah baru yang berasal dari filosofi islam, yakni iqtihad.

Sejalan dengan itu, maka semuanya bukan sekedar teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi yang menjadi kesepakatan ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya madzhab ini berusaha untuk menyusun teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung digali dan dideduksi dari Alquran dan Assunnah.

Tokoh-tokoh madzhab ini selain Muhammad Baqir as-Sadr adalah Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasani, Kadim as-Sadr, Iraj Toutounchian, Hedayati , dan lain lain.(Karim, 2014: 31)

Ekonomi konvensional atau kesepakatan mempunyai paradigma yang berbeda dengan ekonomi islam. Karena ekonomi konvensional melihat ilmu ekonomi sebagai sesuatu yang sekuler yang berlangsung lama dan sama sekali tidak memasukkan faktor X (yaitu faktor tuhan) di dalamnya. Sehingga ekonomi konvensional menjadi suatu bidang ilmu yang bebas nilai (positivistik). Sementara ekonomi islam dibangun di atas prinsip-prinsip syariah. Dalam lataran ini, ekonomi islam tidak berbeda pendapat. 

Namun ketika untuk diminta untuk menjelaskan apa dan bagaimana konsep ekonomi islam itu mulai muncullah perbedaan pendapat. Sampai saat ini pemikiran ekonomi muslim kontemporer terbagi menjadi tiga mazhab. Kenapa pemikiran para ekonomi para ekonomi muslim ini dapat dikatakan sebagai mazhab? Sebab pemikiran pemikiran mereka telah tersusun secara teratur dengan cara yang baik. (Arif, 2010: 27)

            

  • DAFTAR PUSTAKA
  • * Suma,Amin.2015.PENGANTAR EKONOMI SYARIAH.Bandung. PUSTAKA SETIA.
  • * A. Karim, Adiwarman.EKONOMI MIKRO ISLAM.Jakarta.PT RAGRAFINDO PERSADA
  • * Al Arif,NurIANTO.TEORI MIKRO EKONOMI.Jakarta.PRENADA MEDIA GRUP

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun