Ketika kedai kopi menjamur, saya menangkap pertanda baik : kopi sebagai sub kultur dunia pertanian di Indonesia semakin mendapat tempat.Bukan hanya itu.Di lapangan, kian banyak pihak yang menaruh perhatian dalam mengedukasi petani soal mutu kopi.Dampaknya, petani makin melek dan terdidik dalam cara-cara berbudidaya.
Seminggu terakhir, melalui telephone maupun pesan di dinding facebook (apa mereka tidak salah alamat, saya membatin) beberapa kawan baik bertanya seputar kopi.Dari yang ringan sampai ke soal-soal yang mengernyitkan dahi. Mulai kriteria pemilihan spesies di hulu, teknik budidaya, kesesuaian ph tanah sampai pengolahan pasca panen sebagai hilir (dalam konteks pasar, tentu rantai hulu-hilirnya lebih panjang lagi). Yang perlu diketahui -- demikian saya mewanti-wanti kawan-kawan baik saya -- saya hanya petani ‘rata-rata’ sebagaimana umumnya. Yang melakoni prinsip-prinsip bertani masih cenderung dengan pakem-pakem konvensional. Tanpa kualifikasi tertentu sebagaimana disyaratkan bagi seorang penekun dunia kopi dengan segala variasi serta kekayaan aspeknya.
Oleh keterbatasan, beberapa pertanyaan membuat saya merasa buntu, sungkan saya jawab, utamanya karena kopi, bertani dan minum kopi itu sebuah kultur. Tidak gampang menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam, “Enak mana, arabika atau robusta”?, “Lebih sehat mana, dengan atau tanpa gula”?, “Mengapa ada ‘kesepakatan’, kopi sachet itu pop dan hanya cocok bagi pemula, sementara pengopi die hardmemilih kopi hitam”?, “Apa itu kopi lanang”?, “Daerah-daerah mana saja di Indonesia yang dianggap sebagai sentra kopi”?, “Untuk keperluan sambung grafting, spesies apa yang paling tepat sebagai batang bawah?”Itu 6 dari 27 pertanyaan seputar kopi yang saya terima.
Kultur memperlakukan kopi amat dibentuk oleh lingkup orang-orang, sejarah maupun wilayah di mana seseorang tumbuh. Mustahil menyeragamkan cara penyajian kopi tarik Aceh, misalnya.Tidak mungkin kita ujug-ujug menyimpulkan aroma arabika lebih memikat ketimbang kopi robusta. Tidak ada definisi seberapa kuat rasa arabika Bajawa atau halus arabika Kintamani.Tidak adil membandingkan identitas geografis Gayo dengan tempat-tempat lain di Indonesia.Tidak ada satuan ilmiah seberapa adiktif biji kopi.Dst.
Tubuh, kesehatan dan selera itu personal, dan kebudayaan itu khas, tidak untuk dibanding-bandingkan.Kiranya itu sebuah truisme tentang betapa berdaulatnya cara-cara Anda menikmati tiap jenis kopi.Kalau pun boleh menitipkan saran ringan, banggalah mengkonsumsi kopi asli Indonesia. Bukankah Indonesia surga dengan spesies kopi terkaya di dunia? Anda merdeka memilih, menguji kecerdasan lidah -- sepenuh-penuhnya.
Salam sruput.
*Foto atas: kopi arabika, foto bawah: kopi robusta. Koleksi pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H