Di zaman ini kemandirian menjadi salah satu hal yang paling diinginkan banyak orang. Mandiri yang diartikan tidak bergantung pada orang lain. Terutama dalam hal finansial. Juga dalam hal menyelesaikan permasalahan. Menjadi beban orang lain bisa dibilang adalah aib. Memalukan dan membuat hidup tidak nyaman.
Apalagi jika dia perempuan, bergantung pada kaum lelaki dianggap hal yang membahayakan. Bisa diremehkan. Direndahkan. Dikendalikan. Hingga bisa mengalami KDRT.Â
Makanya aktivis feminis kerap menyeru kaum perempuan untuk hidup lebih mandiri dengan berkiprah di dunia karir. Merdeka secara finansial bagi wanita berarti terbebas dari tekanan para lelaki.
Tapi sunnatullah atau biasa dikenal dengan hukum alam tak bisa dihindari ya. Dalam hidup ini Allah swt kerap menghadirkan keseimbangan. Tak ada bahagia tanpa derita. Tak ada suka tanpa duka. Tak ada senang tanpa susah. Apapun tipe pribadi kita pasti memiliki plus minus. Termasuk menjadi perempuan mandiri, tetap saja ada nggak enaknya. Setidaknya ada 4 hal yang menjadi alasan perempuan mandiri tak selalu beruntung.
1. Berpotensi membuat orang di sekeliling merasa tak dibutuhkan
Allah swt menciptakan manusia dengan kedudukan yang sama dihadapanNya. Namun peran keduanya secara alami memang beda. Semisal lelaki sebagai 'yang menanami'. Perempuan adalah 'ladangnya'. Sendal juga kalau sama bentuknya nggak bisa dipakai oleh kaki kanan dan kiri. Makanya mau tak mau kita harus menerima perbedaan peran serta karakter lelaki dan perempuan.
Dalam al Qur'an dikatakan lelaki adalah pemimpin kaum perempuan. Sehingga salah satu ciri kepemimpinannya adalah lelaki lebih kuat fisik atau tenaganya.Â
Perempuan mandiri cenderung senang melakukan berbagai hal sendiri. Karena dia merasa mampu dan memang berusaha memampukan dirinya. Kalau keasyikan dengan kemandiriannya, perempuan bisa mengabaikan karakter suami. Sehingga suami merasa tak berguna bagi istrinya. Hal itu dapat melukai harga dirinya dan menjadi pemicu konflik.
Hal ini juga berlaku pada interaksi dengan orang tua misalnya. Ketika kita sudah dewasa sekalipun, orang tua tetap memandang kita adalah anaknya yang dulu pernah kecil dan dibesarkannya. Ketika dengan kemandirian kita nggak mau lagi menerima perhatian ibu. Nggak mau dimasakin misalnya, ibu bisa sedih dan merasa tak berarti bagi anaknya.
2. Berpotensi membuat suami merasa tersaingi
Manusia rentan merasa tinggi ketika dia berada disatu pencapaian tertentu dalam hidupnya. Awalnya sih perempuan berkarir bermaksud menjaga dirinya dari potensi sikap tak layak suami. Namun ketika dirinya berada diketinggian, justru dirinya yang mulai menunjukkan sikap remeh pada suami.
Apalagi pada kondisi karir isteri yang tinggi, sebagian suami bakal lebih sensitif pada isteri. Bila tak mampu mengendalikan diri, suami bisa mulai merasa tersaingi dan berpikir negatif pada prilaku istri. Ini juga merupakan benih-benih konflik yang bisa membesar bila tak segera ditangani.
3. Susah mendapat pertolongan orang lain
Perempuan mandiri kerap tampil percaya diri, bersemangat, emosi yang stabil, seakan tanpa masalah. Justru dirinya yang hadir buat orang lain. Namun dia kan manusia biasa. Adakalanya dia jatuh dalam sebuah masalah yang membutuhkan bantuan orang lain. Kadang kala dia bersedih dan butuh orang lain untuk mengatasi kesedihannya.
Tetapi citra diri perempuan mandiri bisa saja membuat orang di sekelilingnya kurang peka dengan keadaan dirinya. Disangka si perempuan mandiri tak terlalu butuh bantuan, bisa selesaikan masalah sendiri sehingga diabaikan.
4. Kurang disenangi karena terkesan egois
Egois disini maksudnya cenderung mempertahankan pendapat sendiri. Baik lelaki dan perempuan dalam hal ini sama sih. Ketika seseorang mandiri dengan bekal kecerdasannya, dia bisa saja abai pada pendapat orang lain. Lebih meyakini pendapatnya ketimbang saran orang lain.Â
Sehingga dia lebih sering memilih mengambil pendapatnya sendiri daripada mempertimbangkan serta mengambil pendapat orang lain. Meski pada akhirnya pendapat orang lain ketahuan lebih baik darinya, tetap saja dia berusaha membela dirinya karena dia harus selalu benar.
Maka sependek ilmu dan pengalaman hidup saya, saya belajar bahwa cara hidup paling baik adalah menempatkan diri sesuai aturan Ilahi. Hidup sesuai porsi. Jika kita sebagai isteri, menafkahi memang tanggung jawab suami.
Membantu suami memenuhi finansial keluarga boleh saja. Tapi ketika kondisi mengharuskan kita di rumah, karena habis melahirkan dan merawat bayi misalnya, maka bergantung pada nafkah pemberian suami tak menjadi masalah. Toh suami juga bakal dapat pahala karena memenuhi kewajibannya. Jadi tak perlu menjadi minder karena bergantung pada pemberian suami.