Awalnya mamak menerima ide calonku. Tapi desakan orang sekitar membuat mamak goyah, dan menuntut agar pesta diadakan sebagaimana biasa di masyarakat. Aku merasa sedih dan mengkhawatirkan hadist ini:
"Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar." (HR. At-Tirmidzi)
Tapi itulah ujianku dalam menjemput jodoh. Aku meminta keteguhan pada Allah swt melalui istikharahku. Harus ku lepaskan atau perjuangkan. Rupanya perjalanan waktu menunjukkan hal -- hal yang menguatkanku. Pria itu bersedia mengenal jamaah tempatku dibina. Dia selalu menghadiri kajian dan tepat waktu. Dia pun bilang kepadaku, rencananya akan mencari rumah kontrakan di daerah dekat kampusku. Agar aku mudah untuk beraktivitas ngaji dan dakwah. Saat itu aku memang masih aktif ngaji di kampus meski sudah wisuda.
Hal -- hal itu membuatku terharu. Aku merasa tersanjung. Ku terjemahkan sikapnya itu, bahwa dia paham kewajiban seorang suami yaitu memberi pendidikan pada istri. Sehingga dia berpikir kelak jika pernikahan terjadi, dia akan memudahkan aktivitas pengajianku. Bila standar penghargaan bagi calon istri menurut masyarakat adalah kemegahan pesta pernikahan, maka bagiku yang dilakukan calonku ini adalah bentuk penghargaannya padaku.
Hatiku pun semakin condong padanya. Aku memilih untuk mencoba terus melembutkan hati orangtuaku. Beberapa kali pria itu pun datang untuk membantuku meyakinkan mamak.
Alhamdulillah, ternyata kami berdua berjodoh. Mamak setuju dengan pernikahan kami. Meski terlihat berat. Dan mamak meminta agar pernikahan tidak diselenggarakan di rumah. Melainkan di kantor KUA saja. Mamak malu pada tetangga sekitar karena anaknya menikah tanpa pesta meriah. Meski sedih tapi aku lega. Tidak masalah pikirku, asal mamak ridha.
Sesuai rencana calon suamiku, beberapa hari sebelum akad nikah dia mencari kontrakan di sekitar kampusku. Alhamdulillah Allah swt memudahkan, tak lama rumah kontrakan yang sesuai keinginan didapatkan. Rumahnya berbentuk rumah toko satu lantai, yang akan digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus buka bimbingan belajar. Setelah akad nikah di KUA, kami tinggal di rumah orangtua beberapa hari lalu pindah ke rumah kontrakan.
Sekitar dua minggu kemudian kami mengadakan walimah urs sederhana di rumah kontrakan kami. Keluarga memberi dukungan. Tetangga dan teman -- teman terdekat kami undang. Alhamdulillah, acarapun berjalan lancar. Semuanya terasa begitu mudah. Kami tidak mengalami kesulitan ketika memisahkan tamu pria dengan tamu wanita sebagaimana aturan walimah dalam Islam. Kebetulan ada rumah kosong di sebelah rumah yang kami kontrak. Kami minta izin pemilik rumah untuk menggunakan rumah itu sebagai tempat tamu pria.
Kami pun tidak perlu melobi keluarga untuk membuat konsep walimah ala Islam. Kami panitia di acara walimah kami sendiri, dibantu sama teman -- teman pengajian. Pengalaman teman --teman saya, melobi keluarga demi urusan walimah cukup sulit. Sebab sebagian masyarakat masih awam dengan konsep walimah ala Islam.
Tsumma alhamdulillah, aku merasakan ketenangan dalam pernikahan ini. Meski di usia pernikahan yang memasuki delapan tahun ini kami belum dikaruniai anak, namun kami berdua tetap kompak. Bersama berikhtiar. Bersama tawakkal. Kompak pula dalam menyelesaikan tiap masalah rumah tangga.
Ternyata begini rasanya memiliki suami melalui jalan Islam. Adem. Suamiku sahabatku. Suamiku guruku. Persis seperti yang aku saksikan dari rumah tangga teman -- teman pengajianku. Dimana mereka juga menjemput jodoh sesuai cara Islam. Orangtua yang melihat rumah tangga kami adem ayem pun turut berbahagia.