Mohon tunggu...
Arlini
Arlini Mohon Tunggu... Penulis - Menulis berarti menjaga ingatan. Menulis berarti menabung nilai kebaikan. Menulis untuk menyebar kebaikan

ibu rumah tangga bahagia, penulis lepas, blogger, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Benarkah Kita Miliki Mental Orang Terjajah?

10 Januari 2020   07:14 Diperbarui: 10 Januari 2020   07:22 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah forum, seorang akademisi menyebutkan beberapa ciri dari mental orang terjajah. Yakni inferioritas, tidak malu menadahkan tangan, menyerah pada keadaan dan tanpa jadi diri.

Jujur kita katakan, ciri mental orang terjajah yang disebutkan itu ada pada bangsa kita. Bahayanya, mental orang terjajah dimiliki oleh para pejabat. Mari kita buktikan.

Pertama, sikap inferioritas berupa rasa rendah diri atau kurang percaya diri terhadap negara lain dimiliki oleh pejabat kita. Sebagai contoh pernyataan Menteri Agama (Menag), yang ingin bahasa mandarin jadi syarat kelulusan madrasah aliyah.

Alasannya agar lulusan madrasah aliyah mudah mendapat pekerjaan. Agar mereka bisa diterima bekerja di perusahaan.

Pernyataan Menag menunjukkan pengakuan terhadap kekuatan ekonomi China di negeri kita. Penguasaan China terhadap ekonomi kita bukan kondisi yang ideal. Selayaknya kita sendirilah yang jadi tuan di rumah kita.

Artinya kondisi tidak ideal ini bukan harus diikuti tetapi harusnya dirubah. Bagaimana ke depannya keadaan bisa berbalik. Jadi seharusnya peserta didik dibentuk menjadi para pemimpin. Bukan diharapkan kelak lulusan pendidikan kita menjadi pekerja orang asing.

Jadi sikap Menag bisa dibaca sebagai bentuk rasa tidak mampu menyaingi kekuatan China. Menag tidak percaya diri kelak bisa mengalahkan China. Sehingga lebih memilih mendidik para pelajar menjadi pekerja buat perusahaan China.

Sikap lemah terhadap kapal China yang menduduki perairan Natuna juga wujud inferioritas. China membuat pemerintah kita gentar. Sehingga dengan sombongnya mereka tetap bertahan di Natuna.

Demikian pula dengan enggannya pemerintah melindungi muslim Uighur dari kejahatan China. Pemerintah tak ingin buat masalah dengan China. Malah lebih memilih bermesraan dengan mereka. Itu bentuk inferioritas.

Kedua, tidak malu menadahkan tangan. Lemahnya kemandirian negeri kita bukan hal yang aneh didengar. Pemerintah kita tidak malu dengan jumlah utang yang besar. Bahkan masih akan menambah utang lagi ke depan.

Terus bergantung pada peran investor dalam membangun negeri ini. Pemerintah terus menelurkan berbagai kebijakan yang memudahkan investor, demi merayu mereka berinvestasi di negeri ini.

Ketiga, menyerah pada keadaan. Kita bisa lihat kondisi ini pada berbagai masalah negeri yang tak tertangani. Masalah gerakan separatis Papua. Terus meningkatkan jumlah pelaku penyimpangan seksual lagibete, yang berefek meningkatnya kasus HIV. Tingginya jumlah kemiskinan dan pengangguran. Dll.

Semakin banyak masalah menunjukkan pemerintah tak serius mengatasinya. Solusi hanya berputar-putar dalam lingkaran sistem kapitalis sekuler yang tak solutif.

Mereka justru menolak tawaran solusi jitu dari syariah Islam. Yang dilakukan malah mengkriminalisasi ide khilafah yang sebenarnya menawarkan kebaikan. Apa namanya ini kalau bukan menyerah pada keadaan?

Keempat, tanpa jati diri. Kita pun menyadari dengan pasti negeri kita tidak punya warna asli. Negeri ini tidak secara tegas mengakui diri sebagai negara kapitalis. Meski kental sekali nuansa kapitalis disini, seperti yang pernah dikatakan Surya Paloh.

Nuansa kiri juga ada. Terlihat dari sikap keras pemerintah pada ormas Islam maupun tokoh-tokoh muslim yang menyuarakan Islam kaffah dan Khilafah.

Negeri ini mengakui diri sebagai negeri berpenduduk mayoritas muslim. Mengaku berpihak pada Islam. Tetapi kenyataannya memilah-milah ajaran Islam yang boleh dijalankan oleh umat Islam.

Ke depan pemerintah memiliki tujuan menampilkan wajah Islam moderat, ramah dan toleran. Suatu tampilan Islam yang tidak dikenal sebelumnya. Sebuah tampilan Islam yang menuruti selera manusia.

Tokoh akademisi tersebut pun sepakat dengan keharusan dilakukannya revolusi mental. Dalam arti melakukan perubahan model dan sikap mental secara mendasar.

Tentu yang tepat adalah meninggalkan mental terjajah dengan merubah dasar berpikir sekuler menjadi akidah Islam.

Meninggalkan mental terjajah dengan membuang sistem kapitalis dan menerapkan syariah Islam secara keseluruhan. Inilah yang ideal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun