Ketiga, menyerah pada keadaan. Kita bisa lihat kondisi ini pada berbagai masalah negeri yang tak tertangani. Masalah gerakan separatis Papua. Terus meningkatkan jumlah pelaku penyimpangan seksual lagibete, yang berefek meningkatnya kasus HIV. Tingginya jumlah kemiskinan dan pengangguran. Dll.
Semakin banyak masalah menunjukkan pemerintah tak serius mengatasinya. Solusi hanya berputar-putar dalam lingkaran sistem kapitalis sekuler yang tak solutif.
Mereka justru menolak tawaran solusi jitu dari syariah Islam. Yang dilakukan malah mengkriminalisasi ide khilafah yang sebenarnya menawarkan kebaikan. Apa namanya ini kalau bukan menyerah pada keadaan?
Keempat, tanpa jati diri. Kita pun menyadari dengan pasti negeri kita tidak punya warna asli. Negeri ini tidak secara tegas mengakui diri sebagai negara kapitalis. Meski kental sekali nuansa kapitalis disini, seperti yang pernah dikatakan Surya Paloh.
Nuansa kiri juga ada. Terlihat dari sikap keras pemerintah pada ormas Islam maupun tokoh-tokoh muslim yang menyuarakan Islam kaffah dan Khilafah.
Negeri ini mengakui diri sebagai negeri berpenduduk mayoritas muslim. Mengaku berpihak pada Islam. Tetapi kenyataannya memilah-milah ajaran Islam yang boleh dijalankan oleh umat Islam.
Ke depan pemerintah memiliki tujuan menampilkan wajah Islam moderat, ramah dan toleran. Suatu tampilan Islam yang tidak dikenal sebelumnya. Sebuah tampilan Islam yang menuruti selera manusia.
Tokoh akademisi tersebut pun sepakat dengan keharusan dilakukannya revolusi mental. Dalam arti melakukan perubahan model dan sikap mental secara mendasar.
Tentu yang tepat adalah meninggalkan mental terjajah dengan merubah dasar berpikir sekuler menjadi akidah Islam.
Meninggalkan mental terjajah dengan membuang sistem kapitalis dan menerapkan syariah Islam secara keseluruhan. Inilah yang ideal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H