Mohon tunggu...
Arlini
Arlini Mohon Tunggu... Penulis - Menulis berarti menjaga ingatan. Menulis berarti menabung nilai kebaikan. Menulis untuk menyebar kebaikan

ibu rumah tangga bahagia, penulis lepas, blogger, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Film

Mempermainkan Pernikahan

11 Januari 2020   07:19 Diperbarui: 11 Januari 2020   07:34 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.hipwee.com/

Film Wedding Agreement sudah tayang di iflix. Sejak trailernya muncul sudah penasaran sama film ini. Film yang bercerita seputar drama rumah tangga. Dikisahkan Bian dan Tari menikah karena dijodohkan.

Sehari setelah akad nikah selesai, Bian menyerahkan selembar kertas berisi perjanjian pernikahan (wedding agreement) pada Tari. Bian tak ingin menjalani kehidupan layaknya suami istri dengan Tari. Bian juga berencana menceraikan Tari setelah satu tahun.

Rupanya Bian punya pacar. Ibunya Bian tak suka dengan pacar Bian. Sebab ibunya Bian sudah menjodohkan Bian dengan anak dari teman ibunya. Bian menuruti kehendak mamanya sebab sang mama lagi sakit kanker. Bian berharap selama menjalani pernikahan pura-puranya itu, ibunya bisa berangsur-angsur sembuh.

Dalam hal ini siapa yang merana, ya Tari. Tapi meski kecewa karena ditipu, Tari memilih tetap bertahan dan berupaya merebut hati suaminya.

Baper ya nonton film ini. Sebagai perempuan aku merasa terhina jika diperlakukan seperti Tari. Teringat salah satu kalimat dalam tulisan mbak Asri Supatmiati, bahwa karya sastra mencerminkan suatu peradaban.

Peradaban kapitalis saat ini adalah peradaban syahwat. Sebab karya sastra zaman ini tak jauh-jauh dari urusan syahwat. Termasuk karya seni film ini pikirku.

Tentang Bian yang tak bisa menghargai perempuan. Tak pula bisa menjaga nama baik keluarga. Menuruti panggilan syahwat yang berbalut kata cinta.

Atas alasan mencintai Sarah, Bian tega berpura-pura menikahi Tari. Dengan status sebagai suami, Bian menjalani perselingkuhan dengan Sarah. Kehormatan Tari dan Sarah pun jadi ternoda.

Memang sebagian ulama membolehkan nikah dengan niat mau bercerai. Asalkan terpenuhi rukun dan syaratnya. Dan asalkan perceraian tidak disyaratkan sejak awal. Kalau disyaratkan saat akad nikah, namanya nikah kontrak (muth'ah).

Berkata Imam Al -- Zurqani dari madzhab Maliki di dalam Syarh al Muwatho' : " Dan mereka sepakat bahwasanya siapa yang menikah secara mutlak, sedangkan dia berniat untuk tidak bersamanya (istrinya) kecuali sebatas waktu yang dia niatkan, maka hal itu dibolehkan dan bukan merupakan nikah mut'ah. "

Nikah dengan niat cerai dipandang sebagai solusi bagi pria yang bermukim sementara di suatu daerah. Untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, maka selama berada diperantauan dia boleh nikah, dengan niat akan diceraikan bila hendak pulang ke negeri asal.

Tapi zaman ini adalah masa dimana Islam tidak dijadikan aturan hidup bagi kaum muslim. Sebagian besar muslim mengamalkan ajaran Islam sesuai selera.

Bila nikah dengan niat cerai ini dibiarkan bahkan dipublikasikan, bakal makin banyak pria yang akan mempermainkan pernikahan.

Dalam film ini juga banyak adegan yang tak sesuai Islam. Mengenai interaksi pria dan wanita.

Dalam kitab Nizham Ijtima'i karya Syekh Taqiyuddin An Nabhani, dikatakan bahwa dalam kehidupan khusus perempuan hanya boleh berinteraksi dengan sesama perempuan dan mahramnya.

Tamu asing boleh masuk bila di dalam rumah perempuan bersama mahramnya.

Namun disatu adegan Tari menerima tamu yang bukan mahramnya, yaitu sepupu Bian. Sementara Bian sedang tidak ada di rumah. Fitnah pun terjadi. Saat Bian pulang memergoki Tari bersama sepupunya, Bian menyangka selama dia keluar Tari sering bawa lelaki ke dalam rumah.

Adegan yang sama terjadi pula dengan Bian. Sarah diterima bertamu ke rumah Bian saat Tari tidak di rumah.

Pesan utamya film ini bagi sebagian orang mungkin baik. Bian yang akhirnya luluh dihadapan kebaikan Tari dan batal cerai. Kesolehan Tari menular pada Bian.

Tapi tetap saja, Islam sebagai ajaran pembeda antara yang haq dan bathil (furqan), tak mentolerir karya seni bercampur ide tak sesuai Islam. Karya seni semacam itu tentu tak dibolehkan dibuat ketika nanti peradaban Islam tegak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun