Mohon tunggu...
Arlini
Arlini Mohon Tunggu... Penulis - Menulis berarti menjaga ingatan. Menulis berarti menabung nilai kebaikan. Menulis untuk menyebar kebaikan

ibu rumah tangga bahagia, penulis lepas, blogger, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sepenggal Cerita Toleransi

25 Desember 2019   20:50 Diperbarui: 25 Desember 2019   21:04 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. Alfatih studios

Di negeri berpenduduk mayoritas muslim ini, sikap toleransi kaum muslim masih terus diragukan. Di negeri dimana minoritas non muslim sehari -- harinya hidup berdampingan dengan muslim ini, sikap toleransi muslim masih saja diragukan. Sebagai muslim, makna toleransi bagiku sudah jelas. Yaitu membiarkan pemeluk agama lain menjalankan agamanya. Tanpa menggangu. Tanpa ikut campur. Lakum dinukum waliyadin.

Sepenggal cerita toleransi dariku. Sekitar tahun 2004 akhir, saat aku tamat SMA, keluargaku pindah rumah. Dari kota Medan ke pinggiran, bernama Tanjung Morawa. Di komplek perumahan tempat tinggal kami yang baru, penduduknya sekitar lima puluh persen beragama kristen.

Tetangga samping kanan dan di depan rumah kami adalah non muslim. Kami bertetangga secara normal, damai, tak saling mengganggu. Ketika bertemu kami saling sapa. Ada kesempatan bercerita ya kami bercerita. Saat kami punya hajatan seperti arisan, atau wirid, kami berbagi makanan pada mereka. Saat kami lebaran, kami pun berbagi makanan pada mereka.

Kami tak berharap mereka mengucapkan selamat atas hari besar agama kami. Dan saat hari besar itu tiba, mereka pun tak bilang apa -- apa. Bagi kami tak masalah. Sebab kami paham keyakinan antar kami berbeda.

Demikian pula dengan mereka. Bahkan tentang makanan, mereka ternyata juga paham kalau kami punya aturan tentang makanan. Kami nggak boleh makan babi dan alkohol. Maka ketika mereka sedang merayakan hari besar agama mereka, mereka berbagi kue -- kue yang dibeli. Bukan makanan buatan sendiri.

Kami tak mengucapkan selamat atas hari besar agama mereka. Mereka tak meminta untuk kami mengucapkannya. Mereka tak marah ketika kami tak ucapkan apa -- apa atas hari besar mereka. Sepertinya mereka juga paham kalau keyakinan antar kami berbeda.

Kehidupan bertoleransi yang demikian kami jalani bertahun - tahun. Meski kadang ada sedikit riak -- riak diantara kami. Kekesalan ketika anjing peliharaan mereka bersuara keras. Atau saat mereka sedang masak besar untuk merayakan hari besar, dimana baunya agak asing. Mungkin mereka pun merasakan demikian. Ada sebagian prilaku kami yang tak mereka sukai. Tapi bukan masalah besar. Suasana tetap terkendali. Kami hidup berdampingan dengan damai.

Satu peristiwa tentang interaksi dengan tetangga non muslim masih ku ingat. Sekitar tahun 2009, saat aku memutuskan hijrah, aku konsisten sehari -- hari berhijab syar'i. Suatu saat aku membeli sesuatu ke kedai tetangga non muslimku. Bertemu ibu pemilik kedai, dia menatapku dari ujung kepala hingga ujung rambut. Tak biasa dia melihatku pakai gamis. Lalu dia bertanya, "Apa nggak panas pakaianmu itu?"

Ku jawab pertanyaannya dengan senyuman. Sudah, segitu saja. Tak ada masalah.

Meski aku sendiri sejak tahun 2012 sudah pindah rumah, ikut suami. Sesekali mengunjungi orang tua dan temu sapa dengan mereka. Mereka tanyakan kabarku, kabar keluarga baruku. Kami ngobrol seperti biasa. Tak ada masalah. Hingga kini masih bertetangga.

Dalam pandanganku yang hanya sesekali berkunjung ke rumah orang tua, tampaknya opini pluralisme tak mempengaruhi model bertetangga kami. Tetap sama. Memeluk agama masing -- masing tanpa saling mengganggu.

Saat aku di bangku kuliah juga sama. Aku memiliki beberapa teman beragama kristen. Kami cukup sering diskusi tentang tugas kuliah. Namun ketika tiba hari besar keagamaan masing -- masing, kami saling memahami. Tak ada tuntutan untuk saling memberi ucapan.

Maka berdasarkan pengalamanku, sebenarnya kehidupan di masyarakat sehari -- harinya tak ada masalah dengan toleransi. Aku pun berkesimpulan bahwa propaganda mengajak muslim untuk mengucapkan selamat atas perayaan agama lain, hanya dilakukan oleh para pembenci. Mereka ingin merusak kerukunan yang sudah terjalin di masyarakat. Mereka ingin menyulut permusuhan di masyarakat. 

Akupun memilih tak dengarkan mereka. Tetap fokus mengamalkan agamaku dan memperlakukan non muslim dengan baik sebagaimana diajarkan agamaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun