Mohon tunggu...
Arlin
Arlin Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Penikmat Buku

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Memori dan Pengetahuan Kolektif atas Laut Cina Selatan

22 Mei 2024   22:28 Diperbarui: 22 Mei 2024   22:49 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik di Laut Cina Selatan telah menjadi salah satu isu geopolitik paling menonjol dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini terkait dengan klaim tumpang tindih dari berbagai negara seperti China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan termasuk Indonesia. 

Di tengah lautan luas itu, Kepulauan Natuna dan sekitarnya menjadi titik fokus penting bagi Indonesia. Natuna tidak hanya terkait kekayaan alam tetapi juga sebagai bagian kedaulatan bangsa.

Salah satu akar masalah di Laut Cina Selatan adalah klaim wilayah Cina yang tumpang tindih dengan wilayah beberapa Negara di ASEAN. Cina mengklaim hampir seluruh kawasan Laut Cina Selatan berdasarkan "sembilan garis putus-putus" (nine-dash line). Sembilan garis putus-putus tersebut merupakan peta lokasi wilayah Cina berdasarkan klaim sepihak.

Klaim tersebut melanggar putusan Konvensi PBB tentang Hukum Laut Cina Selatan (UNCLOS). Terdapat pula tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) beberapa negara di ASEAN. Hal tersebut tentu mengundang konflik terhadap negara-negara ASEAN termasuk Indonesia.

Gesekan Indonesia dengan Cina terjadi pada tahun 2010 setelah adanya klaim sepihak dari China terhadap ZEE milik Indonesia. Persoalan tersebut semakin menajam setelah pada tahun 2016, kapal penangkap ikan Cina melakukan aktivitas di ZEE Indonesia. 

Selanjutnya pada tahun 2023 Cina merilis peta standar secara sepihak dengan menggunakan sepuluh garis putus-putus. Peta tersebut tumpang tindih dengan wilayah Indonesia di Laut Cina Selatan, dalam hal ini, wilayah di sekitar Natuna. Pemerintah Indonesia kemudian merespons klaim tersebut karena dianggap mengancam kedaulatan Indonesia.

Respons Indonesia terhadap konflik Laut Cina Selatan cukup baik dengan melakukan patroli wilayah sebagai bentuk penjagaan wilayah. Hal tersebut tentu menjadi hal mutlak yang harus dilakukan karena menyangkut dengan kedaulatan Negara. Selain itu, Indonesia juga melakukan koordinasi dengan negara-negara di ASEAN serta melakukan diplomasi dengan Cina secara langsung.

Kombinasi antara koordinasi, diplomasi, hingga pengerahan kekuatan militer oleh pemerintah Indonesia merupakan tindakan yang wajib kita apresiasi. Sebab itu adalah langkah yang paling rasional atas konflik Laut Cina Selatan. 

Meski demikian, ada satu hal lain yang tak boleh luput dari upaya pemerintah terkait dengan konflik Laut Cina Selatan. Upaya tersebut berupa pemahaman kepada seluruh rakyat Indonesia terkait konflik Laut Cina Selatan agar masyarakat tahu akar persoalannya. Dengan demikian, maka akan lebih dekat kepada apa yang disebut sebagai sebuah pengetahuan dan memori kolektif.

Memori kolektif adalah kesadaran bersama yang dimiliki oleh sebuah komunitas atau bangsa tentang sejarah, nilai, dan identitas mereka. Dalam konteks Laut Cina Selatan, penting bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk memiliki kesadaran bersama tentang pentingnya wilayah Natuna bagi Indonesia. Dengan demikian, Natuna akan selalu dianggap sebagai bagian integral dari Indonesia dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat.

Milan Kundera, dalam novelnya Kitab Lupa dan Gelak Tawa mengatakan "Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa". Dalam konteks yang berbeda, kita bisa memaknai perkataan sastrawan Ceko tersebut bahwa kekuasaan bisa menghapuskan sejarah dan hal-hal lainnya di muka bumi ini. 

Dengan demikian, memori kolektif masyarakat penting sebagai perlawanan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang. Gangguan atas Natuna akan membuahkan perlawan tanpa henti dari seluruh elemen bangsa ini.

Upaya peningkatan memori kolektif hingga menjadi sebuah pengetahuan kolektif terhadap Laut Cina Selatan dapat dimulai melalui pendidikan. Pemerintah perlu memasukkan sejarah dan informasi tentang konflik Laut Cina Selatan ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan sosialisasi melalui media massa untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu kedaulatan Indonesia di Laut Cina Selatan.

Konflik Laut Cina Selatan juga harus masuk pada diskursus akademik tingkat tinggi secara masif. Riset, seminar, dan kajian mendalam tentang Laut Cina Selatan harus terus hadir memenuhi ruang pengetahuan masyarakat. Dengan demikian, diskursus tentang Laut Cina Selatan akan terus tumbuh.

Selanjutnya peningkatan pemahaman terhadap Konflik Laut Cina Selatan melalui aspek budaya. Berbagai kegiatan budaya, seperti festival, pameran, dan bahkan pembuatan film dan pemanfaatan media sosial bisa dilakukan untuk lebih memperluas wawasan masyarakat terkait konflik Laut Cina Selatan. 

Di era digital ini, upaya-upaya seperti ini akan lebih efektif dan lebih mudah untuk dipahami masyarakat. Bahkan jika perlu, dilakukan kegiatan pariwisata sejarah dalam batas-batas keamanan tertentu untuk lebih mendekatkan masyarakat pada wilayah Laut Cina Selatan.

Hal terakhir yang harus dilakukan Indonesia adalah melakukan kerjasama internasional dengan melibatkan negara-negara lain terkait Laut Cina Selatan. Meski hal ini termasuk dalam konsep diplomasi, kebijakan seperti itu juga memiliki peran penting untuk menumbuhkan memori kolektif terhadap kedaulatan Indonesia di Laut Cina Selatan. Kerjasama antar negara, terutama negara-negara ASEAN yang berdampingan dengan Indonesia di Laut Cina Selatan bukan hanya dalam aspek militer, akan tetapi diperluas pada aspek pendidikan dan kebudayaan.

Natuna di Laut Cina Selatan adalah bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia, baik dari segi ekonomi, keamanan, maupun politik. Memastikan bahwa masyarakat Indonesia memiliki pengetahuan dan memori kolektif yang kuat tentang wilayah tersebut merupakan tugas yang amat penting bagi pemerintah. Maka dari itu, Indonesia tidak boleh hanya terpaku pada sektor militer dan diplomasi. Negara harus mampu menyentuh semua sektor, termasuk sektor media, pendidikan, dan kebudayaan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun