Mohon tunggu...
Arlin
Arlin Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Penikmat Buku

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Tantangan Memasyarakatkan Konstitusi

19 Juli 2023   21:41 Diperbarui: 19 Juli 2023   21:57 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Tampak dari Jalan Raya | Sumber: tirto.id

Salah satu problematika pelaksanaan konstitusi adalah keberjarakannya dengan masyarakat. Hal ini terutama terjadi pada masyarakat pelosok, yang tumbuh dan menua tanpa mengenyam pendidikan formal. Mereka hidup bermasyarakat hanya berdasarkan aturan sosial yang berlaku di lingkungannya. Mereka tidak tahu nilai dan norma-norma dasar secara tekstual Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Ketidakpahaman masyarakat terhadap nilai dan dasar konstitusi membuat mereka menjadi rentan terhadap masalah. Mereka tidak paham tentang sejauh mana batas kekuasaan Negara dengan masyarakat beserta hubungan-hubungannya.

Ada kisah ganjil yang bisa menggambarkan ketidaktahuan masyarakat terhadap konstitusi. Di sebuah pelosok desa di Sulawesi Selatan, sekitar dari satu dekade yang lalu, diadakan pengukuran dan penentuan titik hutan yang akan dijadikan sebagai hutan lindung.

Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, akhirnya disepakati untuk melibatkan warga dalam menentukan garis tanah milik mereka dengan hutan lindung. Terutama titik di sekitar pemukiman, pemerintah meminta warga untuk menentukan sendiri secara “rasional” titik batas hutan lindung dan hutan produksi.

Setelah beberapa tahun penentuan titik tersebut, tibalah saatnya menghubungkan titik demi titik melalui citra satelit. Dari hasil penentuan titik tersebut, ada beberapa warga yang kemudian protes. Salah satunya karena rumah tinggal mereka – rumah utama – ternyata masuk dalam garis hutan lindung. Ketika dilakukan penelusuran lebih dalam, ternyata warga tersebut tidak menjalankan permintaan untuk melakukan penentuan titik. 

Berdasarkan aturan, itu artinya rumah mereka harus dipindahkan. Lebih sial lagi bahwa mereka belum memiliki sertifikat hak milik terhadap tanah tempat rumah panggung mereka berdiri. Namun mereka menolak untuk pindah. 

Alasan mereka tidak mengurus sertifikat cukup sederhana. Mereka sudah menempati tanah tersebut selama puluhan tahun. Bagi mereka, semua warga sudah tahu dan sepakat bahwa itu adalah tanahnya meskipun belum pernah mengurus sertifikat. Hal ini jelas memperlihatkan adanya ketidapahaman terhadap dasar-dasar hak seorang warga negara.

Cerita warga lain juga tidak kalah tragis. Separuh dari tempat mereka biasa membuka lahan perkebunan, menjadi bagian dari hutan lindung. Titik koordinat berdasarkan citra satelit tepat berada di tengah-tengah kebun mereka. Berdasarkan aturan, itu berarti sebagian besar tanah kebun mereka tidak boleh lagi mereka garap.

Penyebabnya sungguh mengundang tawa. Entah mereka berkelakar atau mengatakan yang sebenarnya. Salah satu warga mengaku diminta untuk menentukan patok jarak batas wilayah antara lahan garapan dengan hutan lindung. 

Katanya, karena cuaca hari itu begitu terik, dia lelah berjalan membawa patok tersebut. Maka dari itu dia memutuskan untuk mengubur patoknya di tengah kebun. Dia bermaksud menyembunyikan patok tersebut. Beberapa tahun kemudian, saat dilakukan pengukuran, garis batas wilayah hutan lindung terdeteksi tepat di atas lahannya.

Lantas apa hubungan konstitusi dengan kisah-kisah ganjil di atas? Sekali lagi, semua persoalan-persoalan tersebut terjadi karena tidak adanya pemahaman dasar mengenai konstitusi. Mereka tidak bisa menentukan apa hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara berdasarkan konstitusi. Tidak ada pemahaman tentang apa konsekuensi berdasarkan konstitusi terhadap apa yang mereka kerjakan. Mereka tidak mengerti bahwa selain aturan sosial, hidup mereka terikat oleh konstitusi Negara.

Beruntung bahwa ada putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 012/PUU-V/2007 tentang UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Putusan tersebut mempertegas hak masyarakat adat atas tanah adat harus diakui dan dilindungi oleh negara. Putusan ini sangat penting dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan perlindungan lingkungan hidup.

Putusan tersebut menjadi salah satu dasar dilakukannya diskusi ulang untuk menentukan batas antara hak dan kewajiban masyarakat terkait dengan hutan lindung dan hutan produksi. Saya pikir, berdasarkan konteks persoalan di atas, putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia penting terkait hajat hidup orang banyak.

Meski demikian, menjelang dua dekade Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, lembaga ini harus mengambil peran yang lebih jauh dalam meningkatkan kesadaran berkonstitusi masyarakat. Hal ini juga sesuai dengan salah satu misi dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yaitu: meningkatkan kesadaran berkonstitusi warga negara dan penyelenggara negara.

Jadi, selain menyasar partai politik dan penyelenggara negara, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia harus merumuskan program peningkatan pendidikan berkonstitusi di kalangan akar rumput. 

Program tersebut bisa dijalankan langsung atau melalui kerjasama lembaga lain. Pendidikan konstitusi ini penting terutama kepada masyarakat yang rentan mengalami diskriminasi. Bukankah cara terbaik menghindari dan menyelesaikan persoalan adalah dengan memahamkan semua orang yang terlibat pada persoalan tersebut? Kata Francis Bacon, knowledge is power.

Harapan dan Imajinasi

Melihat beberapa hasil survei kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, rasa-rasanya, keadilan melalui konstitusi masih tetap terawat. Kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia masih berada di rentang 65-80%. 

Hal tersebut tentu cukup baik jika dibandingkan dengan beberapa lembaga penyelenggara negara lain. Data tersebut menyiratkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia masih berada di jalur yang tepat.

Meski demikian, menjelang dua dekade sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, lembaga ini memiliki tantangan besar untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat. Mahkamah Konstitusi harus bisa membangkitkan imajinasi tentang Indonesia yang dijalankan berdasarkan konstitusi yang adil. Masyarakat harus diyakinkan bahwa setiap keputusan yang lahir dari rahim Mahkamah Konstitusi demi kepentingan khalayak luas.

Saya pribadi senang dengan putusan terbaru Mahkamah Konstitusi yang terbukti masih menyalakan harapan itu. Putusan tersebut terkait permohonan pengujian Pasal 16 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), ditolak oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Dengan demikian sistem pemilu kita masih tetap proporsional terbuka.

Itu tentu menjadi putusan yang penting untuk menjaga imajinasi dan harapan masyarakat tentang keadilan, dalam hal ini berkaitan dengan demokrasi. Melalui putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi masih menempatkan rakyat, suara rakyat, pilihan rakyat, untuk menyetir arah pembangunan Indonesia. Kita berharap bahwa keputusan itu merupakan satu dari sekian banyak keputusan yang benar-benar untuk rakyat, demikian juga di masa yang akan datang.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi kedepannya harus menjadi lembaga yang dekat dengan rakyat. Hal ini untuk menghindari “gejala” yang disebutkan Justin Gest sebagai minoritas baru. Dalam bukunya The New Minority (2016), Gest menjelaskan tentang menguatnya perasaan minoritas bagi sebagian besar masyarakat di negara-negara Eropa.

Munculnya perasaan terpinggirkan dan merasa seperti minoritas dari mereka yang justru sebenarnya secara populasi adalah mayoritas. Hal ini dikarenakan mereka yang tidak punya kekuatan finansial hanya merasa menjadi objek komodifikasi sistem ekonomi. Bagi mereka, kegiatan ekonomi hanya mensejahterakan segelintir orang, masyarakat luas hanya menjadi “orang asing” dalam sistem tersebut.

Coba bayangkan jika hal tersebut ditarik dalam konteks konstitusi dan hukum. Akan muncul kegamangan dan perasaan terpinggirkan dalam ranah hukum. Konstitusi atau hukum seolah hanya untuk kalangan elit. Perkara-perkara konstitusi adalah perkara elit: Rancangan Undang-Undang, sengketa pemilu, hingga sengketa lembaga negara. Masyarakat akhirnya tidak lagi ingin bersentuhan dengan hukum. Dan yang paling mengerikan masyarakat bisa saja apatis dan bahkan sengaja melakukan pelanggaran terhadap konstitusi negara.

Terakhir adalah persoalan politik. Rakyat percaya bahwa Mahkamah Konstitusi adalah pengadil di lapangan demokrasi. Meski sebenarnya segala persoalan hidup adalah persoalan politik, tetapi Mahkamah Konstitusi tidak boleh menjadi alat politik. 

Dalam sebuah kompetisi, tidak elok rasanya jika melihat ada wasit sekaligus berseragam pemain. Maka dari itu, menjelang dua dekade lahirnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, semoga lembaga ini tetap berpihak kepada rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun