Mohon tunggu...
arleen amidjaja
arleen amidjaja Mohon Tunggu... -

A working mother, an author, a fashion bag seller

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Darimana Ide Ally All These Lives? Baca A, Jadi Kepikir X

30 Januari 2015   19:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:05 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan ke aku setiap kali ada yang tahu bahwa aku seorang penulis adalah: Dapat idenya dari mana aja?

Supaya aku nggak bosen, setiap kali ditanya pertanyaan yang sama, aku jawabnya lain-lain. Kadang aku menjawab dari main sama anak. Kadang aku jawab dari nguping ngomongan orang. Kadang aku jawab dari kejadian atau interaksi sehari-hari. Pernah juga aku jawab dari bantal elektronikku yang kupakai untuk tidur dan setiap malam selalu memasukkan ide-ide baru ke kepala. Hah? Serius? Nggak deh. Nggak punya bantal seperti itu (dan kalo ada yang punya, mau doong, beli satu :))

Tapi jika aku hanya punya setengah detik untuk menjawab, atau hanya boleh menjawab dengan satu kata. Jawabku adalah : buku. Sudah tidak terhitung banyaknya ide yang kudapat dari buku lain yang kubaca. Loh, lalu itu bukannya namanya mencontek? Mencontek bukan ya? Coba kuceritakan dulu dari mana kudapatkan ide untuk novel Ally All These Lives (novelku yang baru saja terbit. Itu covernya di bawah. Dicari di toko-toko buku yaa! :)) Dan setelahnya, kalian bisa mengambil kesimpulan sendiri apakah itu termasuk mencontek.

Adalah sebuah buku yang beberapa waktu lalu sempat gempar (di luar). Buku itu berjudul House of Leaves. Pengarangnya adalah Mark Z Danielewski (ayo ayo di google! Itu covernya di bawah itu juga). Buku ini dibilang buku horror paling menyeramkan (walaupun penulisnya menganggap ini adalah sebuah love story). Tidak susah untuk mendapatkan buku ini di sini dan aku juga awalnya nggak bela-belain nyari buku ini. Tapi salah satu adikku (jika ada yang pernah baca entriku tentang orang-orang yang berpengaruh di dalam karir menulisku, adikku yang ini yang kusebut sebagai seseorang yang selalu membaca dan terkadang bisa membaca 7 buku sekaligus, berpindah-pindah setelah membaca sebuah bab dari masing-masing buku. Entry nya bisa dilihat link di bawah ini.) http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2014/02/07/entry-2-the-10-important-people-in-my-writing-career-in-chronological-order-of-appearance-in-my-life-633357.html

Nah, adikku memang suka mencari buku yang heboh. Dan dia terus terang tidak suka membaca buku yang ringan, yang problemnya bisa diselesaikan oleh anak kecil/karakter yang masih muda usianya. Dia suka membaca buku-buku dengan problem yang kompleks, yang serius. Jadi dia yang memesan buku ini dari sebuah online bookstore. Setelah membacanya, dia meminjamkannya kepadaku.

Tentang apa buku House of Leaves?

Ini bukan buku horror murahan yang menggunakan mahluk-mahluk seperti pocong atau hantu atau suster berdarah darah. Ini adalah horror psikologi. Dikisahkan sebuah keluarga yang baru pindah ke sebuah rumah. Dan ketika sedang mendekorasi ulang rumah itu, si empunya rumah menemukan bahwa ukuran dari rumahnya itu tidak konsisten.  Sampai sana, bayangan yang timbul di benak kita belum seram. Yah, dinding yang ketika diukur hari ini ternyata lebih panjang 10 cm dari ketika diukur kemarin masih tidak terlalu menyeramkan. Paling-paling salah ukur, kan? Tapi jika sebuah dinding yang tadinya polos, keesokan harinya bisa ada pintu di sana, imaginasi kita mulai bergerak. Lalu bila tiba-tiba ada ruangan tambahan, lalu ditemukan ruang basement yang luasnya tidak terkira. Dan tiba-tiba kau bisa tersesat berhari-hari di dalam rumahmu sendiri.

Baca A, jadi kepikir X

Ketika membaca buku itulah ide untuk Ally All These Lives muncul. Buku House of Leaves bercerita tentang rumah yang berubah-ubah. Lalu aku berpikir, bagaimana jika ada seseorang yang hidupnya terus berubah-ubah? Jika aku quote dari back cover Ally: Apa yang akan kaulakukan jika satu menit yang lalu kau anak tunggal orangtumu, lalu satu menit kemudian ada seseorang yang muncul entah dari mana dan duduk di sampingmu mengaku sebagai adikmu?  Apa yang kau lakukan jika kau menemukan foto di meja, menampilkan dirimu dan seseorang yang belum pernah kaulihat? Apa yang kau lakukan jika kau pulang ke rumah dan menemukan bahwa di dalam rumah itu sudah ada dirimu yang lain?

Begitulah…  karena membaca sebuah cerita di mana karakternya lalu mengadakan ekspedisi untuk menjelajah rumahnya sendiri yang terus berubah-ubah, aku lalu menulis sebuah cerita di mana karakternya kehilangan cintanya karena ia telah terpindah ke hidup yang lain. Lain total? Memang. Tapi bukankah memang seperti itu misteriusnya kerja otak manusia? Kau tidak pernah tahu ke mana anak pikiran yang berikutnya akan membawamu. Dan aku yakin, bila penulis lain membaca buku House of Leaves, pasti yang terlintas di benaknya hal yang amat berbeda lagi. Mungkin karena setiap saat ada begitu banyak ide-ide yang beterbangan di sekitar kita. Dan karena kita tidak pernah punya kendali ide mana yang akan atau bisa kita tangkap, aku selalu percaya bahwa memang bukan aku yang memilih atau menemukan cerita-cerita itu. Tapi merekalah yang telah memilih dan menemukanku.

Happy reading, all :)

Arleen

1422594091854220577
1422594091854220577

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun