Oleh: Arkilaus Baho
Sudah enam puluh enam tahun Indonesia diakui sebagai sebuah Negara. Namun prilaku rekayasa masih subur di negeri ini. Pola kolonialisme masih mambayangi bangsa Indonesia. Kebijakan pemerintahan yang berkuasa juga tidak jauh dari merekayasa. Hal ini bertentangan dengan semangat pendirian Negara Indonesia yang merdeka, adil dan jujur. Prilaku rekayasa tidak saja di kancah perpolitikan nasional dalam penanganan kasus korupsi, tetapi juga pada proyek mengindonesiakan orang Papua yang jelas sarat rekayasa.
Kasus penembakan yang berulangkali di kampung Nafri Jayapura Papua dan itu jelas suatu rekayasa. Nafri hanyalah satu wilayah konflik yang muncul dari rekayasa korps militer Indonesia. Lagi, OPM sebagai objek rekayasa. Hal yang tidak bisa dipikir secara akal sehat ialah peralatan negara yang diberikan kepada prajurit, justru dipakai untuk menciptakan konflik.
Militer Indonesia di Papua tidak punya urat malukah? Sebelum kasus Nafri muncul, langganan konflik yang kentara sekali rekayasanya ialah kasus penembakan di Freeport, OPM yang dipimpin Alm. Kelly Kwalik dituduh sebagai pelaku penembakan. Mulai dari penembakan warga Negara asing hingga penduduk dan karyawan Freeport.
Setelah kepergian Kelly Kwalik ke alam baka, penembakan masih terjadi. Pola yang sama kini hadir di Jayapura. Adalah Danny Kogoya ditempatkan sebagai ikon OPM untuk menjustifikasikan kelompok Papua yang berseberangan dengan Negara Indonesia. Sosok Danny Kogoya sendiri tidak diakui oleh markas Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Bantahan pertama datang dari OPM di seputar Jayapura hingga perbatasan RI-PNG.
Ricard Yoweni sebagai pimpinan TPN yang telah bertahun-tahun berada di Jayapura setelah deklarasi TPN/OPM 1 Juli 1965 ini sangat tidak mengenal sosok Danny Kogoya. Begitu juga TPN markas Waris batas RI-PNG Lamberth Pekikir dalam pernyataan terbukanya mengaku tidak ada perintah operasi OPM di Kampung Nafri. Warga sipil di Jayapura juga heran karena sosok yang dutuduh bertangungjawab atas kasus Nafri tersebut, selalu berkeliaran dengan bebas di kota Jayapura. Padahal, pentolan TPN yang lainya justru diincar negara, kenapa dia begitu bebas saja? Sumber-sumber yang membenarkan bahwa Danny Kogoya merupakan pentolan TPN hanyalah bersumber dari kepolisian dan TNI yang kemudian diteruskan oleh media massa. Sedangkan TPN asli sudah jelas tidak mengenal pelaku penembakan.
Peranan Anjing Penjaga Modal dalam Dinamika Konflik Papua
Tahun 2007, sebuah laporan rahasia yang dikeluarkan oleh Komando Pasukan Khusus: KOPASSUS. Dalam draft tersebut dicatat bahwa KOPASSUS telah melakukan pendekatan dan berhasil merekrut anak kepala suku Nafri, yaitu Daulat Fringkreuw.
Laporan yang dibocorkan oleh Allan Neirn melalui secret Obama ini menyebutkan bahwa Nafri merupakan pos kendali Kopassus yang strategis untuk mengamankan Jayapura. Dari segi pendirian Pos militer saja, sudah banyak pos tentara yang berdiri di daerah ini. Simak saja, pos pengamanan perbatasan yang hanya berjarak 10 kilometer dari lokasi kejadian sekarang. Begitu juga, kampung Nafri berada dalam pengawasan kamtibmas POLRES Jayapura. Nah, ditambah lagi pos tanpa bentuk dan wujud nyata yang didirikan kopassus, seketika kapling pengamanan yang dilakukan oleh puluhan pos militer, toh masih ada penembakan bertubi-tubi di tempat yang sama dengan pelaku yang juga sama. Tanya mengapa.
Saya curiga, dana otsus yang hilang begitu saja adalah habis untuk pembiayaan operasi keamanan yang dengan demikian terus direkayasa. Pantas juga, sangat setuju otsus gagal. Karena dengan dalil otsus, rekayasa murahan terus terjadi agar suplai dana otonom masuk kas militer. Entah untuk kepentingan elite jenderal yang pegang kendali di Papua atau hanya sekedar untuk memperparah keadaan Papua. Suhu konflik antar korps juga bahaya baru sejak reformasi. TNI baku hantam dengan POLRI hanya untuk cari muka saja.
Bila orang Papua tolak perusahaan masuk di tanah mereka, maka satu cara adalah pemerintah mendirikan TPN OPM gadungan yang kemudian secara tidak langsung melegitimasi masuknya pasukan organik bersenjata. Kasus puncak Jaya merupakan fakta bahwa demi pelebaran areal operasi Freeport semata, konflik terus diangkat agar kehadiran militer terus memukul mundur warga Papua yang menolak tanah mereka dirusak perusahaan asing. Jadi, tujuan OPM palsu untuk mendatangkan aparat militer beroperasi, sehingga membuat takut warga agar lunak menerima konsensi kapitalisme. Budaya Anjing Penjaga Modal terbukti menggurita di Papua.