Setiap tahun Papua seakan tak bisa reda dari konlik. Konflik kepentingan menafsirkan sejarah masa lalu dan konflik kepentingan modal yang hendak membutuhkan jaminan keamanan dari negara sebagai jaminan utama suatu investasi. Kran konflik tadi merubah Papua menjadi tanah yang tidak pernah aman. Tidak aman karena selalu dikeruk, dicemari dan diratakan, yang kemudian dilanjutkan dengan adanya gangguan keamanan sosial seperti penyisiran moncong-moncong senjata. Rasa aman orang Papua dipertaruhkan dalam kancah mempertahankan harkat dan martabat sebagai manusia Papua. Seketika tanah dan penghuninya merasa tidak aman diatas negerinya sendiri, pembangunan di era globalisasi sekarang hanya akan menuai malapetaka yang dahsyat, bahkan jargon pembangunan untuk kesejahteraan orang Papua hanya ada diatas kertas tanpa bukti nyata. Apa yang dapat dirasakan manusia Papua sekarang tak terlepas dari fenomena masa lalu yang penuh dengan gejolak juga.
Berawal dari perebutan pulau Papua oleh Ratu Belanda dan Raja Inggris pada abad 21, Liga Bangsa-bangsa ( PBB-sekarang ) membagi dua wilayah negara yang ada dalam satu pulau. Papua timur ( PNG ) dimiliki Kerajaan Inggris, sedangkan Papua barat ( sekarang menjadi wilayah paling banyak konflik ) dipangkuan Ratu Belanda kemudian dialihkan lagi kepada pangkuan ibu pertiwi. Gelora konflik Papua sudah diawali sejak orang Papua belum mengenal arti mendirikan negara modern seperti sekarang. Patok batas kekuasaan antar kerajaan di Papua sampai sekarang merupakan awal dari perseteruan wilayah Papua kini dan akan datang.
Ketika sekarang rakyat Papua bergulat dengan idiom negara sendiri, tatkala tulisan ini memberikan jalan bagi orang Papua maupun pemerintah Indonesia untuk memandang kembali status kedudukan pulau paling timur Indonesia dan paling barat pulau Papua. Papua seakan dibuat para koloni sebagai wilayah yang hendak dipelihara. Sebab, bila dirunut dari belakang, tanah Papua bagi para koloni yang datang merupakan tanah tak berpenghuni. Pandangan bahwa tidak ada pemilik diatas tanah tersebut berawal seketika gejolak perang dunia memaksa kedua kubu harus gencar-gencar mencari wilayah baru untuk dijadikan satu koloni atau blok. seperti yang sudah kita tahu bersama, gejolak kubu kapitalisme dan sosialis semata berembet pada suatu klaim atas wilayah-wilayah tak punya pemerintahan. Wilayah tak berpenghuni yang dimaksud para kolonial saat itu ialah belum ada pemerintahan yang berdiri disuatu wilayah, termasuk Papua ( baik PNG maupun Papua sekarang Indonesia ). Keputusan liga bangsa-bangsa abad 21 silam menegasikan ciri baru dalam pola menelisik Papua sekarang. Menanggulangi tanah tak berpemerintahan tadi, pola kebijakan yang berlaku di kedua wilayah yang dibagi terus mengikuti karakter politik dan ekonomi kubu yang telah mengklaim tanah masing-masing, yaitu inggris dan belanda.
Deklarasi presiden dan perdana mentri di Papua pada pergelaran kongres rakyat Papua tidak terlepas dari doktrin pembentukan negara baru yang dijalankan pada abad 19 dimana disaat itu diperbolehkan deklarasi negara bagi wilayah dekolonisasi yang membentuk sebuah pemerintahan sendiri dan seharusnya demikian menurut liga bangsa-bangsa. Berbeda dengan kondisi pendirian Negara, sekarang alasan pendirian negara di era globalisasi, suatu wilayah dibentuk menjadi sebuah negara demi pengutamaan kubu ekonomi semata. Walaupun, sifat dari adanya suatu Negara untuk menjamin kemakmuran bagi rakya. Bisa saja negara baru yang terbentuk untuk maksud dan tujuan lain; seperti Palestina dan Sudan Selatan lebih didominasi oleh aliran kepercayaan wilayah bersangkutan. Dengan demikian, prilaku aparat negara yang berlebihan menanggapi deklarasi pada kongres Papua dimaksud sangat disesali.
Seperti diberitakan KOMPAS.com Polisi membubarkan Kongres Rakyat Papua III, Senin (17/10/2011) di Abepura, Papua. Acara yang dihadiri sekitar 5.000 peserta itu digelar di Lapangan Zakheus, Abepura. Otoritas Nasional Papua Barat (West Papua National Autority/WPNA) merekomendasikan Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut sebagai Presiden Republik Demokratik Papua Barat. Rekomendasi itu mereka sampaikan dalam pandangan politik yang dibacakan oleh Frans Kapisa di tengah-tengah kongres. Selain itu, mereka juga merekomendasikan Presiden ONPB Edison Waromi sebagai Perdana Menteri.
Berbeda dengan deklarasi presiden dan perdana mentri Papua yang muncul disaat freeport diblokade para pekerjanya, bicara negara Papua yang harus ada diera dekolonisasi, sudah ada pencetusan negara Papua pada 1 Desember 1961, kemudian oleh pemimpin Papua di Manokwari mendirikan organisasi Papua Merdeka 1 Juli 1965. Dilanjutkan dengan pendirian pemerintahan Papua di Waris ( dikenal markas Marvic ) di Keerom pada 1 Juli 1976. Dikenal sebagai literatur kesejarahan Papua hingga sekarang terus diperjuangkan.
Kapling atas Papua dari wilayah tak berpemerintahan Beralih Pada kapling Ekonomi Global Terus Menuai Konflik Tiada Akhir
Kebutuhan akan jaminan hukum bagi pemodal dunia untuk mengeruk keuntungan di Papua terus diupayakan. Satu-satunya jaminan yang membuat tenang untuk berinvestasi seketika Papua dinyatakan berada dalam pangkuan Indonesia melalui usaha trikora 1 Mei 1963 kemudian finish pada proses PEPERA yang cacat tetapi menghasilkan resolusi 2405 oleh PBB. konflik sejarah kemudian berkontradiksi sampai sekarang, rakyat Papua bersama pemerintah Indonesia saling berargumen tentang status Pulau tersebut. Konflik saling mempertahankan status kian mengkristal.
Eh, tau tau ditengah kita bicara sejarah masa lalu itu, gunung di Timika dengan sigap di bor oleh Amerika melalui freeport, lalu minyak dan gas di Bintuni di suling oleh Inggris, Hutan sudah habis karena kayu kita dibawa ke Jepang, Singapura, Australia dan Malaisya. Tidak lama lagi orang Papua di Merauke harus mengungsi karena sudah dibuka pusat pangan nasional. Pertarungan nyawa, harga diri, budaya dan segalanya yang menyangkut integritas sebagai bangsa beradab yang patut dihargai didunia seakan tidak begitu penting daripada dunia memperhatikan peningkatan emas dan tembaga yang harus disuplai freeport, atau gas cair yang harus disuplai dari Bintuni. Supaya keinginan global akan pasokan sumber energi dan tambang dari Papua itu, negara di teken untuk mengamankan kepentingan aset asing di Papua walaupun tidak dapat untung. Lihat saja, aparat justru beringas hadapi orang Papua yang kibarkan bendera separatis daripada menghadapi perusahaan asing yang mencuri keuntungan dari Papua.
Sama saja prilaku aparat dan negara yang tidak benar di Papua dengan prilaku sebagian orang Papua baik pejabat maupun rakyat jelata, yang “katanya” penjaga tanah Papua. Mereka jaga tanah Papua hanya kata-kata yang kita jumpai di nama dan simbolisasi saja. Kalau mau jaga Papua, kenapa freeport keruk dan merusak tanah mu dibiarkan?. Karena baik negara maupun sebagian rakyat Papua tidak sadar bahwa perkelahian yang terjadi baik dilakukan secara vertikal ( Papua-Pemerintah ) maupun horizontal ( perang suku ) hanya bikin habis energi, dan tentunya korban semakin meningkat. Kerusuhan semacam itu tidak ada nilai positif bagi kemajuan Papua. Kemajuan positif yang harus diraih ialah rakyat Papua bersama pemerintahnya menjadikan aset kekayaan yang ada untuk bangun diri sendiri dan bukan bakalai terus..
Harapan Mengakhiri Konflik
Harapan mengakhiri konflik dari sudut ketatanegaraan, pemerintah berperan penting dalam menangani suatu konflik. Berkaca pada apa yang dilakukan oleh mantan Presiden RI KH. Abdulrahman Wahid “ Gusdur “ mendekati upaya penyelesaian konflik Papua. Alm. Gusdur begitu tahu persis apa yang ada dibenak orang Papua. Sampai-sampai gejolak yang mengglobal diseluruh wilayah Papua dapat direda. Gusdur memahami pentingnya ruang berdemokrasi dibuka seluas-luasnya, tak heran pengibaran benderan bintang kejora hampir ada diseluruh Tanah Papua. Ruang ekspresi, berpendapat, menyuarakan aspirasi terasakan di bumi cenderawasih itu. Itulah momentum keterbukaan orang Papua sejak sebelumnya dibungkam oleh moncong senjata melalui DOM ( daerah operasi militer ) selama 30 puluh tahun lamanya. Gusdur memberikan ruang yang bebas bagi orang Papua sama halnya rakyat Indonesia umumnya menikmati kebebasan sejak reformasi 1998 silam.
Ibarat seorang narapidana yang baru bebas lalu dijebloskan kembali kedalam penjara, itulah situasi yang dihadapi orang Papua. Ruang keterbukaan yang dibuka oleh bapak segala bangsa ( Gusdur ) kembali di tutup rapat-rapat oleh generasi pemerintah berikutnya, Rezim Megawati kasi kado pecah belah orang Papua melalui pembagian wilayah Papua menjadi dua provinsi, Sednagkan Rezim Susilo Bambang Yudhyono mengeluarkan ijin investasi bagi negara luar dengan ratusan usaha baru di Papua. Luka yang sudah mau kering itu kembali mengeluarkan darah lagi. Kebijakan pemerintahan pro neoliberalisme menutup rapat kebebasan berpendapat dimuka umum bagi orang Papua. Pemerintahan neolib justru membuka kran kebebasan bagi kaum pasar lebih leluasa masuk hutan belantara, dan menutup rapat-rapat aspirasi rakyat.
Sudah jelas, farina konflik yang terjadi sekarang. Paling tidak konflik sejarah masa lalu dan konflik jaminan keamanan modal asing itu sendiri. Dua konteks tadi mestinya digarap secara bermartabat dan manusia. Lebih parah lagi bila konflik sejarah saja yang menjadi perhatian pemerintah sedangkan konflik kapitalisasi Papua dikesampaingkan. Tak ada jalan damai yang diharapkan bila kedua pola konflik tadi tidak diatasi, akan pincang proses penghentian konflik Papua. Tentunya kemampuan menelisik konflik Papua tidak terputus saja pada prospek sejarah saja, tetapi harus disertakan dengan pelibatan menelisik arus kapitalisme yang turut berperan dalam memainkan suprastruktur keamanan negara.
Jalur konflik yang tak pernah disentuh lalu dibongkar terus mengalirkan benih-benih konflik baru yang statis dan terjadi berulang-ulang. Diawali dari gejala mengamankan perusahaan negara oleh aparat kemanan itu sendiri. Polemik gejolak Papua bila dirunut dari beberapa kasus akhir-akhir ini, ialah gejolak di Freeport mengalirkan benih konflik yang berembet pada pembubaran berdarah-darah kongres rakyat Papua dan terakhir penembakan kapolsek di Pucjak Jaya atau sekarang disebut Puncak Yamo. Ibarat titik api di Freeport lalu melebar ke Jayapura dan Puncak Yamo. Itulah rute tradisi konflik yang berlangsung di Papua akhir-akhir ini.
Mengapa kasus terjadi di Freeport menjalar ke daerah lain?. Simak suaka politik warga Papua ke Australia tahun 2006 silam. Suaka dilakukan oleh mereka yang sekarang mendeklarasikan diri sebagai presiden dan perdana mentri Papua disaat gejolak blokade Freeport beralangsung. Sama saja seketika tuntutan penutupan Freeport pada tahun 2006 silam, dialihkan dengan pergerakan suaka politik 43 orang Papua ke Australia. Intinya, kalau Freeport diganggu, anda siap-siap hadapi penembakan membabibuta atau ada sejumlah pengibaran bendera separatis di Papua.
Harapan untuk mewujudkan Papua damai dirunut dari dua hal diatas. Konflik sejarah masa lalu dan konflik keamanan kapitalisme semata. Dua konflik tersebut mendominasi junta konflik orang Papua. Pemicu utamanya ialah kepentingan globalisasi berupa penjajakan modal dalam bentuk usaha memicu serangkaian tindakan atas dan nama Negara untuk mengamankan laju globalisasi. Sedangkan konflik sejarah masa lalu hanyalah obat pereda yang digunakan kelompok tertentu yang tidak disadari turut mengamankan kepentingan modal untuk tetap aman berinvestasi di Papua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H