"Bertengkar dengan Istri, Pria Italia Berjalan Setara Jakarta-Kendal". Demikian judul sebuah artikel lawas di kompas.com yang kembali saya sembulkan untuk menyegarkan ingatan kita.Â
Â
Â
Pergi Untuk KembaliÂ
Artikel manca negara itu masih membuat saya terpingkal sekaligus murung. Respon yang bercampur aduk. Saking mumetnya ya, Pak? Sampai mampu menempuh perjalanan sejauh 418 kilometer selama sepekan penuh. Tapi, setidaknya, kejadian unik itu memberikan saya renungan. Bahwa kita mesti senantiasa mengasah kepiawaian dalam menghadapi ras terkuat di bumi.
Kekerasan memang bukan solusi kala anda terlibat pertengkaran dengan istri. Ya, berdasarkan pengalaman. Saya pun merasakanya. Tindakan itu hanya akan membuat perseteruan makin panas hingga menanti momentum ledak. Salah satu dari anda atau pasangan, (demi kemaslahatan bersama, baiknya sih anda) harus ada yang mengalah.
Ada satu riwayat, di mana Ali bin Abi Thalib pergi ke luar rumah ketika cekcok dengan sang istri; Fatimah Az-Zahra. Rasulullah mencarinya dan mendapati sepupu  sekaligus menantunya itu berada di pojokan masjid. Ali tertidur dengan pakaian bertaburan debu, lalu dibangunkan lewat panggilan sayang "Abu Thurab" dari Beliau. (Shahih al-Bukhari bab naumil-mar`ah fil-masjid no. 441). Â
Nah, saya mau menggarisbawahi solusi yang bisa kita terapkan wahai para suami, rekan pembaca yang budiman. Contohlah lelaki paruh baya asal Como, Milan, Italia itu. Meski ya tidak harus sampai menempuh jarak antar provinsi juga sih. Saingan kita nanti dengan Forest Gump.
Karena  melenggang pergi bukan berarti kita melarikan diri dari masalah. Toh, kita kan berjalan, bukan berlari. Kita keluar berjalan kaki untuk menjernihkan pikiran. Seraya memasang kembali, satu demi satu, komponen kendali diri. Dan ingat petikan lagu "Englishman in New York"-nya Sting: A Gentleman will walk but never run.
Poinnya adalah: segeralah beranjak, dan menjauh sejenak dari tempat kejadian perkara. Jangan lama berkutat di sana. Keluar dan hiruplah udara segar. Kita mendapati banyak sekali manfaat dari berjalan kaki. Para tokoh dunia mempraktikannya. Sebut saja Socrates dan Aristoteles, hingga Albert Einstein, dan Steve Jobs. Bahkan tak jarang  mereka menemukan inspirasi ketika tengah berjalan kaki. Penulis buku "Millennials Kill Everything" (Gramedia, 2018) Yuswohady mengungkapkan, otak kita berada dalam difuse mode saat berjalan kaki. Kondisi yang membuat rileks untuk seseorang lebih mudah menangkap inspirasi dan ilham.  Â
Maka, mari menjauh untuk nanti kembali dengan pikiran yang lebih jernih. Karena kata Salim A Fillah, berat dan ringan masalah bukan soal bobot, tapi soal cara kita merespon masalah itu. Bahwa nasib adalah kesunyian masing-masing. Maka yakinlah, kekuatan tiap orang itu sepadan dengan kadar masalah yang dihadapi. Tak ada problem yang melebihi daya kemampuan kita mengatasinya. Jadi, tetaplah berjuang, Kotaro Minami! Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H