Mohon tunggu...
Arkian Widi
Arkian Widi Mohon Tunggu... Freelancer - hello world

a wandering digital bedouin.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Bungkeuleukan (2020), Ketakutan Bukan Karena Jurik

2 November 2020   13:14 Diperbarui: 9 November 2020   10:59 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. KOMiK Kompasiana

"Bro, nobar yuk. Ada rekomendasi seru film horor edisi halloween, nih," ajak saya memecah kebosanan di akhir pekan yang panjang. "Males, ah, Bre. Hidup gue aja udah horor. Apalagi lihat isi dompet," jawab sohib kental curcol. Kami sontak kompak terbahak. Guyonan akhir bulan yang khas ini lumrah terlontar. Tapi memang ada kesamaan antara film horor dengan tongpes. Sama-sama menimbulkan ketakutan :))      

Hierarki Rasa Takut 

Horor tak selalu identik dengan setan, hantu, pocong, tuyul, jurik dan makhluk-makhluk tak kasat mata lainnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) horor adalah sesuatu yang menimbulkan perasaan ngeri atau takut yang amat sangat. Tak hanya dari makhluk halus, penyebab-penyebab ketakutan dapat berasal dari berbagai aspek kehidupan.

Menurut Youtuber Kanada Sabrina Cruz di  video "Finding the Scariest Movie with Machine Learning", horor bekerja dengan menstimulan kesadaran-kesadaran utama yakni rasa jijik (disgust), rasa ngeri (horror), dan tekanan (terror). Ketiga kata kunci yang juga dikenal sebagai the Hierarchy of Scares ala Stephen King.

Pertama, rasa jijik. Film zombi apokaliptik mengobral kengerian lewat adegan zombie memakan otak yang bikin penonton mual. Film thriller memperlihatkan antagonis melakukan tindakan ganjil terhadap korban seperti mengoleksi tulang atau bagian tubuh tertentu.  Kedua, rasa ngeri. Perasaan ketakutan yang lebih umum akibat penampakan hantu mengerikan yang muncul mengagetkan (jumpscare). Ketiga, rasa diteror. Penonton seolah ikut mengalami tekanan dan intimidasi peneror terhadap korban yang menderita.   

Lebih lanjut, pemilik kanal "Nerdy and Quirky" ini mengeksplorasi bagaimana horor hadir dalam berbagai bentuk yang lebih lanjut. Ia membaginya menjadi teks dan subteks. Jika teksnya adalah monster ganas, maka subteksnya dapat berwujud virus corona. Jika teksnya adalah gaji, maka subteksnya adalah kebutuhan hidup. Jika teksnya adalah resesi, maka subteksnya adalah dirumahkan, di-phk, dan pengangguran.

Jadi, kata Sabrina, rasa takut, gelisah dan ngeri ini lebih luas lagi memengaruhi aspek psikologis, kondisi sosial masyarakat, dan spiritual. Dari sisi psikologis, manusia diintai tekanan hidup yang menantang kewarasan. Dari sisi sosial masyarakat, di tengah dinamika global, tiap individu dituntut beradaptasi dan saling berinteraksi (atau malah saling sikut-sikutan?). Dari sisi spiritual, manusia mempertanyakan tujuan hidup dan live after death.

dok. KOMiK Kompasiana
dok. KOMiK Kompasiana

Bujet Minim, Performa Maxim  

Dari angle ini kita pahami, nuansa horor bisa lebih berlapis dikombinasikan dalam alur drama, misalnya.  Seperti di film yang mau saya bahas kali ini. Saya antusias mengupas film pendek besutan sutradara muda Agung Jarkasih: "Bungkeuleukan" (2020). Di edisi Spooktober, KOMiK mengajak kita Nobar Film Horor dengan Kearifan Lokal. Banyak hikmah yang bisa dipetik dan renungan yang dapat didekap dari event Nobar dan Diskusi Film Pendek KOMiK (Kompasianers Only Movie enthus(i)ast Klub) Komunitas Film Kompasiana dan Bale Films, #NobarBungkeuleukan #KOMikxBaleFilms #NobarKOMik

Kecanduan judi togel harus dibayar mahal oleh Jantra (Ridho R Falah) yang diceraikan Lastri (Agis Kristiyanti) dan seorang diri membesarkan anak semata wayang Amar (M. Rafli R Despian). Nasehat teman, Marsudi (Irvan Agustin P) agar menghentikan kebiasaan buruknya itu tak digubris. Panjang angan makin menjadi-jadi seiring cemooh  Pak RT Sujoni (Deden F Fadilah) yang bikin iri karena menang togel, dan kecipratan proyek pembangunan rumah. Keinginan memiliki rumah idaman pun kian jadi pembenaran dirinya harus mengundi nasib. Keputusasaan berujung nekat hingga mengambil jalan pintas, ngimpo dibawa Wa Ilyas (Iwan Kurdiana) ke tempat ritual ngeri. Jadi ingat wanti-wanti Max California di 8MM (1999); If you dance with the devil, the devil dont change. The devil changes you. Ketika kau anggap bisa menguasai roh gelap, tapi malah sebaliknya.   

Meski dikemas atmosfer supranatural dan bikin bergidik bulu roma, Bungkeuleukan kaya akan spektrum problematika sosial. Yang saya suka dari film indie adalah mereka lebih luwes bertutur. Pesannya membumi lewat percakapan dengan tema yang akrab di keseharian. Dengan alur yang tidak diatur selera pasar, Bungkeuleukan memotret realita masyarakat kelas bawah di pedesaan.

Mengutip Booklet Bungkeuleukan, biaya pembuatan film berdurasi 38 menit ini hanya menghabiskan biaya kurang lebih 3 juta rupiah untuk pra-produksi dan produksi, serta 1 Juta rupiah untuk post-produksi. Berkah dari bujet yang minim adalah tiap scene dieksekusi dengan efektif dan efisien. Tidak ada adegan yang tak perlu hingga pesan tersampaikan dengan baik. Akting Aldi Maulana (Toto) mencuri perhatian di scene yang memantik kengerian di antara area temaram pepohonan bambu yang seram.

Unsur budaya kesundaan kental lewat dialog, aksara otentik sebagai judul, dan lonceng angin bambu yang menambah aksen ornamen mistik. Situs yang dipilih pun betulan dianggap keramat oleh warga sekitar. "Bungkeuleukan" dalam kosa kata Bahasa Sunda berarti wujud keinginan 'sir' manusia yang tidak diikhlaskan ketika meninggal. Saya terperanjat oleh plot twist yang menggantung gelisah menyisakan teori skenario akhir versi penonton. Ending scene mengingatkan saya akan adegan pamungkas di The Others (2011), dan My Neighbour Totoro (1988). Bagi yang jeli memperhatikan detil, film yang melibatkan 30 orang crew dan 25 pemain ini menyuguhkan pemandangan metaforis nan sinematis ala the Mist atau Silent Hill. 

Film yang berseting lokasi di Desa Lebak Gunung Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor  itu turut menguatkan, bahwa kemiskinan itu dekat kepada kekufuran. Betapa ketakutan Jantra akan hidup melarat menggiringnya ke jalan gelap yang dipilih. Ketakutan bukan terletak di kengerian akibat penampakan makhluk halus. Ketakutan ada di ketidakmampuan membeli gula-gula dan memiliki pernak-pernik duniawi. Ada yang takut tidak dicintai. Ada yang takut tidak diterima. Ada yang diterima tapi malah takut.  Ada yang takut tidak lagi cantik atau gagah. Ada yang takut tidak diperhitungkan lagi karena sudah tak berdaya alias post-power syndrome. Banyak yang takut terpapar covid-19. Dan ketakutan-ketakutan lainnya. Inilah horor yang paling nyata kita hadapi tiap hari. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun