Pemerintah era Jokowi-JK taruh kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dibawah kementerian kordinator perekonomian. Itu artinya, daya juang LHK bertujuan untuk mengejar profit ekonomis dari lingkungan dan hutan.
Degradasi hutan meluas di era dimana IPK, HTI, IUPHK kian meningkat. Bagaimana anda merasionalisasikan lingkungan sebagai ekonomi strategis, begitu juga hutan. Celah tersebut bikin kapitalisasi hutan dan lingkungan hidup naik.
Instrumen percepatan insfrastruktur dari MP3Ei, Areal Penggunaan Lain (APL), Rancangan Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten (RTRWP/RTRWK), sekarang diusung lagi, hutan desa, hutan adat, hutan masyarakat. Klasifikasi hutan sebatas layanan publik untuk memudahkan kapitalisasi hutan dan lingkungan.
APL boleh saja, tapi sudahkan klasifikasi hutan itu bukan hutan adat? Ataukah, klasifikasi hutan bukan berarti pending investasi kebun sawit dan hutan tanaman industri lainnya yang kini berada pada fungsi hutan yang kita kenal saat ini.
Instrumen hukum nasional yang strategis, menitik beratkan pada ruang keadilan. Hak masyarakat adat atas segala hal. Air, hutan, tanah dan hak pengelolaan. Belum ada UUMA (Undang-undang Masyarakat Adat), tapi berbagai kebijakan rasional sudah jalan. Sebut saja NKB lintas kementerian dan lembaga. Keputusan Menteri, Gubernur hingga Bupati.
Inti dari seruan para menteri itu, telisik ijin tiap konsensi. Ijin bermasalah, bekukan dan cabut, sampai disitu saja. Belum sampai pada apakah APL milik masyarakat adat atau milik perusahaan sesuai mekanisme.
Ditengah sinkronisasi kebijakan belum maksimal ini, ada satu pihak yang lupa diri. Perusahaan-aparat militer. Mereka berdua ini tramau tau dengan negara mengedepankan hak orang adat diatas segala kebijakanya, perusahaan datangkan brimob jaga perusahaan agar ketika masyarakat datang tanya hal apa saja menyangkut hak mereka, brimob turun hadang. Praktik tersebut menguat sekarang di Papua. Nabire dengan PT. Nabire Baru (PT.NB), PT. Sariwana Adi Perkasa (PT.SAP) dan Fakfak dengan PT. Arfak Indra dan lainya.
Brimob di daerah sulit diatur ditengah kepala polri malah PLT sudah berbulan-bulan. Tumpul komando sebagai efek kamtibmas di sekitar perkebuman. Selain sektor tambang seperti freeport sudah aman sebab MOU perusahaan dengan polisi telah ada.
Mendukung ditegakkanya hak akibat implementasi hukum negara, tak begitu memadai. Masyarakat pemilik hak justru lebih sadar hukum ketimbang penyelenggara hukum baik pemerintah maupun aparat militer.
Jangankan polisi yang sibuk jaga perusahaan dari tuntutan masyarakat disekitar, TNI pun sama saja. Mereka kawal baik-baik rencana negara eksekusi manusia daripada mereka ikut terlibat pada penertiban perusahaan liar yang merusak hutan, tanah dan menyengsarakan rakyat Indonesia.
Mengutip statemen dari PLT KPK, Adnan Pandu sewaktu kami dari koalisi masyarakat sipil penyelamatan sumberdaya alam Indonesia, dia bilang, pers tidak begitu tertarik dengan perjuangan pencegahan korupsi, mereka-media, tertarik pada penindakan. Bahkan ketika kami utusan 5 orang gelar jumpa pers di KPK, jurnalis bilang harus ada pimpinan KPK yang dampingi kami sehingga mereka mau masuk ruang pers.
Desain kebijakan di Indonesia saat ini lebih pada kapitalisasi semata, ruang pasar (ekonomi) dikedepankan. Ketika LHK berada dibawah kementerian kordinator perekonomian, tak ada harapan bagi penyelamatan hutan dan lingkungan di Indonesia sebab arahnya lebih pada profit. Begitu juga dengan NKB kementerian dan lembaga, bagaimana jalan bila kepala polri saja masih PLT. Indonesia 5 tahun mendatang, bila tidak pertegas aturan, apalagi membiarkan baku tabraknya aturan terus menerus, masa depan hutan dan lingkungan kian suram. Mereka yang mengalami dampak ini adalah masyarakat adat yang kebanyakan menyatu dengan hutan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H