Mohon tunggu...
Arkilaus Baho
Arkilaus Baho Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Duluan ada manusia daripada agama. Dalam kajian teori alam, bahwa alam semesta ini usianya 14.000 juta tahun, baru setelah 10.000 juta tahun kemudian terdapat kehidupan di bumi ini. Manusia jenis Homo Sapiens baru ada 2 juta tahun yang lalu, sedangkan keberadaan agama malah lebih muda dari kemunculan agama yaitu 5 ribu tahun lalu. B.J Habibi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Politik Somasi

28 Januari 2014   09:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:23 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seseorang melayangkan somasi (protes politik) kepada orang lain agar orang tersebut meminta maaf atas ucapan, tindakannya. Bila tidak dibalas oleh pihak yang di somasi tadi, meja hijau menanti. Eh, anda jangan asal bicara, harus ada fakta-fakta dari ucapan itu. Kecuali penyampaian anda bersifat dugaan akan suatu masalah/kasus. Trus, efektifkan somasi menyelesaikan masalah?

Latar belakang seseorang melakukan pembelaan diri dari ucapan orang lain kepada dirinya, kemudian penyelesaiannya ditempuh melalui jalan damai dengan meminta pihak tertuju meminta maaf, justru menimbulkan multi tafsir. Pertama, kenapa langkah ini dilakukan, dan ada apa gerangan kebakaran jenggot kah? Suara-suara miring di era kebebasan bicara atau menyatakan maksud, kok dilawan dengan dalil fitnah dan sebagainya.

Kedua, capaian apa yang didapat dengan jalan somasi/protes balik ini, apakah sebatas tameng agar tiap orang tidak seenaknya mengemukakan pikiran kepada diri seseorang. Apalagi, seorang petinggi negara, otomatis ribuan mata dan pikiran bahkan mulut tentu mengucapkan apa saja tentang dirinya. Konsumsi publik tak seharusnya ditanggapi berlebihan, karena itu akan membuat orang awam semakin curiga, ada apa gerangan, serangan balik dengan cara somasi?

Ketiga, cara penguasa mematikan kritik sosial, hal paling ampuh dengan melayangkan protes halus. Selain cara kasar dengan memakai militer keroyok seseorang yang dianggap mengkritik tajam kebijakan pemerintahan. Hal wajar juga, ketika freeport itu sebuah tambang terbuka, segala mata tertuju dan menimbulkan kritik macam-macam. Ada dari segi ekologinya, ham, ekonomi, politik dan seterusnya. Kenapa freeport saja jarang sekali ada somasi. Herannya, kepala negara kita yang aktif, melakukan somasi atas nama pribadi. Bagaimana memisahkan jabatan aktif dengan pribadi?

Bila si arkilaus ini yang di kata-katain orang di DPR, politisi, pengamat ekonomi, tentu saya tanya balik, woe, kalian kritik saya emangnya saya ini siapa? pengangguran saja kok dkritik, fitnah dst. Tetapi, seorang pengambil kebijakan negara, apapun wajib dkritisi. Entah imbas dari kawalan sosial berupa ungkapan tentang kasus hukum, sosial maupun ekonomi, biarin saja.

Pada konteks alam, pohon yang rindang dan tinggi tentu kerap berhadapan dengan angin kencang, hujan, matahari, erosi/abrasi. Bahkan perusakan akibat pertambangan dan industri ekstratif.

Kan ada penegak hukum dan penyidik yang punya wewenang, kenapa harus kepala negara seolah-olah bertindak atas pribadi melayangkan somasi. Praktik menyurat orang pun harus masuk akal. Apa kapasitasnya sehingga menimbulkan kritik yang dianggap itu bagian dari fitnah?

Oh, rupanya itu benteng terakhir yang halus. Sebelum benteng fisik dilancarkan. Entah karena kuda-kuda penguasa dari senayan sudah rontoh abis dijajal komisi pemberantasan korupsi sehingga lemah dalam mengawal big monster mereka. Bendungan politik dari partai sudah rapuh, sehingga jalan somasi dengan menunjuk tukang acara hukum bergerak, kirim surat sana-sini kepada siapa saja yang dianggap memenuhi kriteria sehingga mengharuskan pucuk surat melayang.

Jangan sampai negara ini beralih dari kebebasan demokrasi dan bicara bertemu dengan cara di korea utara dimana pemimpin setempat mengeksekusi pamannya hanya karena tuduhan penghianat tanpa pembuktian hukum. Mau kemana negara model ini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun