Perang moderen sejatinya adalah pertarungan bisnis. Supaya aman dalam bertarung, kadang para iblis-iblis itu memakai baju HAM-Demokrasi-Agama. Bungkusan yang halus, sarat menipu dan menjerumuskan opini masyarakat seakan-akan tindakan mereka sesuai kebenaran. Anda sekalian simak saja perkembangan terkini, dari adu kekuatan diplomasi dan perang di asia barat, kedua korea, amerika latin dan sekarang diseputar Eropa. Asia-Pasifik menanti pertarungan panas 2015 mendatang. Masing-masing negara ingin koloninya di negara berkembang agar ikuti keinginan negara tertentu.
Dan iblis berjubah demokrasi ini merupakan ciri khas dari cara-cara pendudukan/ekspansionis secara total demi menjalankan pengaruh atau maksud-maksud bisnis. Dari keseluruhan cara diatas, dari pola dan praktik nyata, imperialisme merupakan watak yang terus membudaya. Parahnya lagi, praktik kemunafikan dilakukan. Angkat tangan kiri bicara keadilan ham dan demokrasi, tetapi tangan kanan malah melawan cita-cita demokrasi.
Paling menonjol adalah Amerika Serikat yang kerap todong isu HAM-Demokrasi sana-sini. Bila gagal dengan cara itu, pakai cara lain lagi. Dari yang diketahui publik hingga samar-samar. Bahkan ancamannya terang-terangan. Beda dengan Cina-Rusia dan kalangan negara Amerika Latin yang tidak banyak bersuara HAM-Demokrasi tapi melakukan pemenuhan terhadap HAM-Demokrasi itu sendiri. Ibarat, air deras tak ada ikan didalamnya-itulah AS.
Sekarang perusahaan dari negara-negara barat penuhi Irak. Begitu juga di Mesir. Iran yang baru-baru ini memilih damai, kebanjiran investor asing. Ramai-ramai keliling dunia, bahkan sempat ke Indonesia. Oh, jadi, sikut-menyikut antara mereka di kancah politik internasional itu demi mengamankan bisnis? Iran-Irak-Korut-Korsel-Kuba-Venezuela-Ukraina, dll, itu adalah resistensi masa kini dari hedonisme sebuah pertarungan ideologi. Pemikir ideologi tentu memahami konflik dunia dari caranya. Namun, keseluruhan aksi-aksi kedigdayaan negara vs negara, hanyalah ritualitas dari "iblis berjubah demokrasi".
Bisnis bukan setan atau iblis, tapi sistem yang mengikat pola bisnis tersebut, menjadi setan. Karena, hanya kelompok/pribadi/negara tertentu ingin monopoli dan kuasai harta umat manusia, yang berujung pada pemupukan modal, akibatnya pemerataan susah digapai. Kesamaan hak, prinsip keadilan, kemanusiaan, segalanya hanyalah tameng yang dijadikan simbol saja. Pendeta/pastor atau Imam datang suruh umat berdoa atau sujud agar para maling yang niat jahat, tidak di lihat oleh manusia-manusia beragama. Apalagi si iblis itu seolah-olah ayahnya dari Tuhan yang disembah, tentu para pengikutnya marah kepada siapa saja yang mengkritik prilaku sistem yang diterapkan oleh negara/kelompok tertentu.
Praktik-praktik halusinasi bertopeng tadi, bukan hal baru di dunia. Setiap perang dan konflik, orang awam tentu sudah tau, apa maksudnya. Begitu juga dengan Indonesia yang akhir-akhir ini mendapat tekanan dari Australia dan Singapura. Pokoknya, hal tidak pokok, para iblis itu menjadikan bahan saling gertak. Australia memang fokus mengontrol kawasan Pasifik dan sebagian asia. Mereka kontrol dengan jubah kemanusiaan, demokrasi, hukum korupsi/money loundry, kepercayaan samawi dan masih banyak lagi. Penyebaran virus mematikan seperti suntikan zat tertentu yang mengakibatkan seseorang dalam waktu ditentukan, rubuh. Virus hewan dan berbagai jenis unggas.
Belum lagi, Imperialis telah banyak memasang jerat-jerat kepada siapa saja, negara mana saja, perjanjian apa saja, hubungan ekonomi-politik negara-negara. Pada nantinya akan datang AFTA, sebelumnya ada IMF, Bank Dunia, The Federal Bank, WTO, APEC, G-8, G-7, TPPA dan seterusnya, termasuk ikatan kontrak karya (KK) yang nyatanya menjadi kendala sekarang antara pemerintah Indonesia dengan sejumlah perusahaan asal AS (freeport-newmont).
Ekonomi-politik bagaikan pinang dibelah dua. Panglima dari segala gencatan perang moderen saat ini. Beda dengan era sebelum globalisasi, paling menonjol peperangan terjadi demi perbudakan suku-bangsa satu terhadap lainnya. Masa sekarang, anda tidak terima demokrasi import dicap sebagai negara tak berperikemanusiaan. Maling teriak maling-penegak ham itulah pembunuh utama hak asasi. Terlepas dari data yang dianggap sesuai prosedur atau tidaknya, memenuhi unsur pelanggaran HAM/demokrasi, silahkan kroscek laporan AS tentang kondisi HAM di Papua, pelanggaran HAM seputar freeport jarang ditulis, malah hal diluar freeport saja yang mereka laporkan ke publik dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H