Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tontonan Televisi yang Terlalu Dibatasi

4 November 2017   21:58 Diperbarui: 4 November 2017   22:15 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata tabu sering digunakan sebagai alasan untuk melakukan tindak pembatasan. Dengan gamblang kata ini dapat dicerna sebagai larangan. Secara visual penerapan kata ini dapat dilihat melalui tontonan televisi yang terlalu dibatasi. Sceneyang 'sedikit' mempertontonkan organ-organ penting perempuan dikaburkan. Hingga akhirnya ucapan pun mengalami perlakuan yang sama. Secara umum pembatasan-pembatasan itu dikenal masyarakat dengan nama sensor.

Adalah sebuah keharusan Lembaga Sensor Indonesia melakukan pengawasan terhadap setiap tontonan yang hadir di layar kaca. Agar unsur-unsur negatif yang ada di dalam tontonan tersebut dapat diminimalkan bahkan dihilangkan. Namun, dari sekian alasan yang dikemukakan proses penyensoran juga memiliki dampak negatif.

Setidaknya tahun lalu masyarakat sempat dibuat resah karena akibat aksi sensor berlebihan. Ketika meliput kejuaraan renang dalam perhelatan PON 2016 pihak stasiun televisi mengaburkan sebagian tubuh perempuan dan hanya menyisakan bagian kepala saja. Ada lagi, dalam acara Pemilihan Putri Indonesia 2016 kebaya yang dikenakan para kontestan disensor. Sensor itu mengakibatkan masyarakat tidak bisa menikmati detail rancangan busana yang dikenakan.

Selain itu, tahun ini jika Anda memperhatikan film-film laga seperti Bramakumbara dan Tutur Tinular diputar kembali oleh salah satu stasiun televisi swasta. Pemutaran kembali film tersebut sebenarnya berdampak positif bagi masyarakat. Mereka dapat bernostalgia dan mengenang kembali kejayaan masa lalu melalui visual yang ada. Namun, lagi-lagi tontonan sarat edukasi sejarah itu pun tidak luput dari aksi sensor. Unsur-unsur yang disensor dalam film Tutur Tinular berdasarkan pengamatan saya di antaranya darah dan belahan dada perempuan.

Norma

Sensor yang dilakukan memang berdasarkan acuan pengaburan, bahwa stasiun televisi dilarang menampilkan tayangan dengan menunjukkan bagian tubuh tertentu yang dinilai terlalu dewasa untuk disiarkan. Alasan ini diperoleh I Nyoman Payuyasa setelah melakukan serangkaian penelitian. Hasil penelitian tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah tulisan berjudul "Fenomena Sensor dan Perspektifnya".

Memperhatikan alasan di atas, berarti unsur norma kemudian dijadikan salah satu alasan utama untuk melegalkan aksi sensor yang hingga sekarang masih terjadi. Sebab, makna dari norma sendiri adalah pengendali tingkah laku. Tetapi norma yang manakah itu?.

Sensor di zaman sekarang yang dinilai masyarakat kebablasan sebenarnya juga membeberkan sebuah fakta, yaitu adanya penurunan kadar pemahaman tentang eksistensi tubuh. Tubuh menurut Endang Kusniati, hakikatnya adalah milik setiap individu, bukan milik kelompok atau publik, karena yang berhak mengatur tubuh itu adalah pemiliknya bukan orang lain. Namun tidak demikian, kenyataan yang ada saat ini tubuh perempuan dikuasai, dikekang, dan tidak diberikan kebebasan oleh industri dan pemilik modal. Semua dikontrol dengan begitu saja, tanpa mempertimbangkan estetika  atau keindahan.

 Citra Visual Arkeologis

Arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari masa lalu lewat benda yang ditinggalkan, setidaknya memiliki andil penting dalam membuka tabir yang masih dianggap tabu oleh sebagian pihak. Tinggalan arkeologi yang dapat dinikmati secara visual sama seperti dunia televisi adalah relief dan arca di sejumlah candi.

Relief dan arca dalam konteks ini berfungsi sebagai media komunikasi, yang mengandung pesan religius dan dibuat atas perintah raja dibantu oleh para pendeta. Candi dengan hiasan relief, merupakan karya budaya material yang masih dapat dilihat sampai sekarang. Dari sini generasi zaman nowdapat melihat kondisi sosial masyarakat pada masa Jawa Kuna. Kondisi sosial saat itu dapat diketahui dari berbagai macam bentuk pakaian yang dikenakan, bentuk-bentuk arsitektur dan rumah tinggal, bentuk permukiman sebagai lanskap budaya, dan sebagainya.

Menarik untuk mencermati keberadaan salah satu candi Hindu yang terletak di Kelurahan Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sebab, di bangunan suci itu apa yang disebut tabu secara visual masih bisa dipelajari oleh siapapun.

Ketika orang pertama kali melihat relief maupun arca di sana, mungkin berpikiran bahwa penampilannya sangat vulgar karena digambarkan secara natural. Apabila dikaji secara serius, sebenarnya sesuatu yang tabu dan naturalis tersebut sebenarnya sarat akan makna.

Makna pertama berkaitan dengan pangruwatan. Hal ini dapat diketahui dari relief-relief Garudeya, Bhimaswarga, Bimaruci, dan Sudamala. A.J. Bernet Kempers mengatakan, sejak awal didirikan Candi Sukuh diperuntukkan sebagai situs suci yang berhubungan dengan penghormatan kepada arwah-arwah leluhur. Pada paruh pertama abad ke-15 Masehi kemudian diubah menjadi monumen yang memadukan unsur Hindu-Jawa dengan karakter lokal sebagai sarana pembebasan arwah leluhur dari ikatan duniawi (kamoksan jati).

Lingga dari Candi Sukuh yang sekarang disimpan di Museum Nasional. Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id.
Lingga dari Candi Sukuh yang sekarang disimpan di Museum Nasional. Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id.
Relief Sudamala bercerita tentang Sadewa yang meruwat (membaskan dari belenggu) Durga --seorang perempuan-- setelah dikutuk oleh Sang Hyang Guru. Selain Durga, Sadewa yang kemudian bernama Sudamala meruwat seorang Begawan dari pertapaan Prangalas bernama Tambapetra dan dua raksasa yaitu Kalantaka dan Kalanjaya.

Makna kedua berkaitan dengan kesuburan. Hal ini dapat diketahui dari keberadaan lingga-yoni di bagian lantai candi, arca, dan relief Gana yang digambarkan secara naturalis yaitu menonjolkan alat kelamin. Berkaitan dengan hal ini, Saras Dewi mengatakan bahwa  candi-candi yang berdimensi erotis di Indonesia menandakan suatu era dimana kebudayaan masa lalu menekankan pada penghormatan terhadap tubuh manusia sebagai persemayaman dari Hyang Tunggal.

Pemahaman Setengah-setengah

Stigma terlalu dewasa yang menjadi penyebab dikaburkannya bagian tubuh tertentu yang dinilai terlalu dewasa untuk disiarkan di layar kaca, menurut saya akibat dari pemahaman yang masih setengah-setengah. Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah pandangan yang menganggap bahwa vulgarisme hanya dipahami dari kulit luarnya saja.

Kecenderungan orang atau pihak tertentu tidak sungguh-sungguh memahami citra visual yang ada di hadapannya adalah mengklasifikasikan tubuh yang terbuka dan menonjol ke ranah pornografi (karena gairah atau ketertarikan akan tubuh kerap diperlawankan dengan kesucian). Sekali lagi, apakah kemudian relasi antara tubuh yang terbuka dengan citra visual layar kaca melawan ketentuan moral dan agama?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun