Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tontonan Televisi yang Terlalu Dibatasi

4 November 2017   21:58 Diperbarui: 4 November 2017   22:15 1192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tokoh Nariratih dalam Tutur Tinular. Sumber: http://www.media2give.com.

Menarik untuk mencermati keberadaan salah satu candi Hindu yang terletak di Kelurahan Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sebab, di bangunan suci itu apa yang disebut tabu secara visual masih bisa dipelajari oleh siapapun.

Ketika orang pertama kali melihat relief maupun arca di sana, mungkin berpikiran bahwa penampilannya sangat vulgar karena digambarkan secara natural. Apabila dikaji secara serius, sebenarnya sesuatu yang tabu dan naturalis tersebut sebenarnya sarat akan makna.

Makna pertama berkaitan dengan pangruwatan. Hal ini dapat diketahui dari relief-relief Garudeya, Bhimaswarga, Bimaruci, dan Sudamala. A.J. Bernet Kempers mengatakan, sejak awal didirikan Candi Sukuh diperuntukkan sebagai situs suci yang berhubungan dengan penghormatan kepada arwah-arwah leluhur. Pada paruh pertama abad ke-15 Masehi kemudian diubah menjadi monumen yang memadukan unsur Hindu-Jawa dengan karakter lokal sebagai sarana pembebasan arwah leluhur dari ikatan duniawi (kamoksan jati).

Lingga dari Candi Sukuh yang sekarang disimpan di Museum Nasional. Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id.
Lingga dari Candi Sukuh yang sekarang disimpan di Museum Nasional. Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id.
Relief Sudamala bercerita tentang Sadewa yang meruwat (membaskan dari belenggu) Durga --seorang perempuan-- setelah dikutuk oleh Sang Hyang Guru. Selain Durga, Sadewa yang kemudian bernama Sudamala meruwat seorang Begawan dari pertapaan Prangalas bernama Tambapetra dan dua raksasa yaitu Kalantaka dan Kalanjaya.

Makna kedua berkaitan dengan kesuburan. Hal ini dapat diketahui dari keberadaan lingga-yoni di bagian lantai candi, arca, dan relief Gana yang digambarkan secara naturalis yaitu menonjolkan alat kelamin. Berkaitan dengan hal ini, Saras Dewi mengatakan bahwa  candi-candi yang berdimensi erotis di Indonesia menandakan suatu era dimana kebudayaan masa lalu menekankan pada penghormatan terhadap tubuh manusia sebagai persemayaman dari Hyang Tunggal.

Pemahaman Setengah-setengah

Stigma terlalu dewasa yang menjadi penyebab dikaburkannya bagian tubuh tertentu yang dinilai terlalu dewasa untuk disiarkan di layar kaca, menurut saya akibat dari pemahaman yang masih setengah-setengah. Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah pandangan yang menganggap bahwa vulgarisme hanya dipahami dari kulit luarnya saja.

Kecenderungan orang atau pihak tertentu tidak sungguh-sungguh memahami citra visual yang ada di hadapannya adalah mengklasifikasikan tubuh yang terbuka dan menonjol ke ranah pornografi (karena gairah atau ketertarikan akan tubuh kerap diperlawankan dengan kesucian). Sekali lagi, apakah kemudian relasi antara tubuh yang terbuka dengan citra visual layar kaca melawan ketentuan moral dan agama?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun