Kata tabu sering digunakan sebagai alasan untuk melakukan tindak pembatasan. Dengan gamblang kata ini dapat dicerna sebagai larangan. Secara visual penerapan kata ini dapat dilihat melalui tontonan televisi yang terlalu dibatasi. Sceneyang 'sedikit' mempertontonkan organ-organ penting perempuan dikaburkan. Hingga akhirnya ucapan pun mengalami perlakuan yang sama. Secara umum pembatasan-pembatasan itu dikenal masyarakat dengan nama sensor.
Adalah sebuah keharusan Lembaga Sensor Indonesia melakukan pengawasan terhadap setiap tontonan yang hadir di layar kaca. Agar unsur-unsur negatif yang ada di dalam tontonan tersebut dapat diminimalkan bahkan dihilangkan. Namun, dari sekian alasan yang dikemukakan proses penyensoran juga memiliki dampak negatif.
Setidaknya tahun lalu masyarakat sempat dibuat resah karena akibat aksi sensor berlebihan. Ketika meliput kejuaraan renang dalam perhelatan PON 2016 pihak stasiun televisi mengaburkan sebagian tubuh perempuan dan hanya menyisakan bagian kepala saja. Ada lagi, dalam acara Pemilihan Putri Indonesia 2016 kebaya yang dikenakan para kontestan disensor. Sensor itu mengakibatkan masyarakat tidak bisa menikmati detail rancangan busana yang dikenakan.
Selain itu, tahun ini jika Anda memperhatikan film-film laga seperti Bramakumbara dan Tutur Tinular diputar kembali oleh salah satu stasiun televisi swasta. Pemutaran kembali film tersebut sebenarnya berdampak positif bagi masyarakat. Mereka dapat bernostalgia dan mengenang kembali kejayaan masa lalu melalui visual yang ada. Namun, lagi-lagi tontonan sarat edukasi sejarah itu pun tidak luput dari aksi sensor. Unsur-unsur yang disensor dalam film Tutur Tinular berdasarkan pengamatan saya di antaranya darah dan belahan dada perempuan.
Norma
Sensor yang dilakukan memang berdasarkan acuan pengaburan, bahwa stasiun televisi dilarang menampilkan tayangan dengan menunjukkan bagian tubuh tertentu yang dinilai terlalu dewasa untuk disiarkan. Alasan ini diperoleh I Nyoman Payuyasa setelah melakukan serangkaian penelitian. Hasil penelitian tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah tulisan berjudul "Fenomena Sensor dan Perspektifnya".
Memperhatikan alasan di atas, berarti unsur norma kemudian dijadikan salah satu alasan utama untuk melegalkan aksi sensor yang hingga sekarang masih terjadi. Sebab, makna dari norma sendiri adalah pengendali tingkah laku. Tetapi norma yang manakah itu?.
Sensor di zaman sekarang yang dinilai masyarakat kebablasan sebenarnya juga membeberkan sebuah fakta, yaitu adanya penurunan kadar pemahaman tentang eksistensi tubuh. Tubuh menurut Endang Kusniati, hakikatnya adalah milik setiap individu, bukan milik kelompok atau publik, karena yang berhak mengatur tubuh itu adalah pemiliknya bukan orang lain. Namun tidak demikian, kenyataan yang ada saat ini tubuh perempuan dikuasai, dikekang, dan tidak diberikan kebebasan oleh industri dan pemilik modal. Semua dikontrol dengan begitu saja, tanpa mempertimbangkan estetika  atau keindahan.
 Citra Visual Arkeologis
Arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari masa lalu lewat benda yang ditinggalkan, setidaknya memiliki andil penting dalam membuka tabir yang masih dianggap tabu oleh sebagian pihak. Tinggalan arkeologi yang dapat dinikmati secara visual sama seperti dunia televisi adalah relief dan arca di sejumlah candi.
Relief dan arca dalam konteks ini berfungsi sebagai media komunikasi, yang mengandung pesan religius dan dibuat atas perintah raja dibantu oleh para pendeta. Candi dengan hiasan relief, merupakan karya budaya material yang masih dapat dilihat sampai sekarang. Dari sini generasi zaman nowdapat melihat kondisi sosial masyarakat pada masa Jawa Kuna. Kondisi sosial saat itu dapat diketahui dari berbagai macam bentuk pakaian yang dikenakan, bentuk-bentuk arsitektur dan rumah tinggal, bentuk permukiman sebagai lanskap budaya, dan sebagainya.