Peringatan Hari Sumpah Pemuda tahun ini tergolong unik. Selang empat hari kemudian, yaitu tanggal 1 November 2017 masyarakat Indonesia yang beragama Hindu juga akan merayakan Hari Raya Galungan. Hari raya ini jatuh pada hari Rabu Kliwon, Wuku Dungulan. Jika dihitung dalam setahun dirayakan dua kali atau 210 hari sekali, sebab didasarkan pada pawukon.
Keunikan berikutnya adalah setiap tanggal 28 Okober masyarakat Indonesia memperingati sebuah hari di mana para pemuda berteguh janji, bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan, yaitu Indonesia. Kala itu, mereka ingin meneguhkan kembali makna yang terkandung dalam bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Sebuah semboyan yang pertama kali dicetuskan oleh Tantular dalam Sutasoma. Kemudian, semboyan ini diangkat untuk merekatkan nilai-nilai kebangsaan Indonesia.
Hari ini ketika momen itu diperingati kembali, para pemuda di sejumlah daerah mengenakan baju adat. Seakan ingin menyeru bahwa bangsa ini didirikan oleh segenap rakyat Indonesia yang berasal dari Sabang sampai Merauke; dari Miangas sampai Pulau Roti. Mereka bangga dengan identitas kebhinekaan dan ingin selalu menepati janji untuk menjaga keunikan ini agar tetap lestari.
Prinsip
Hari ini ketika mengikuti persembahyangan Hari Raya Galungan, saya memakai baju hitam itu kembali. Baju dengan kombinasi ikat kepala, syal, dan jarik khas Banyuwangi. Semua nuansanya hitam dan hal ini bukan tanpa alasan. Saya memakai baju adat Using.
Dengan cara demikian, saya ingin mempopulerkan kembali gaya berbusana etnik di kalangan anak muda. Dulu saat pertama kali mengenakan gaya busana itu, saya ditentang banyak pihak termasuk orangtua. Katanya seperti dukun dan aki-aki.Saya sadar, dengan memakai busana yang demikian berarti memilih untuk tidak mengikuti gaya arus utama. Sebuah gaya yang sudah bertahan lama karena sudah menjadi kesepakatan secara komunal. Namun protes itu tidak sampai menahun. Setelah saya jelaskan tentang  prinsip yang mendasari akhirnya orangtua dapat menerima.
Gaya busana adat Using kemudian saya kenakan tidak hanya saat ke pura saja. Tetapi juga saya kenakan kala menghadiri pertemuan pemuda. Memang harus diakui menjaga prinsip di tengah arus yang cenderung kuat tidak mudah. Kita harus bisa menempatkan diri sebaik mungkin. Tanpa membuat orang di sekitar merasa risih dan tertekan.
Gaya Busana
Pakaian sejak dulu sudah menjadi bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Jawa selalu memperhatikan gaya busana yang dikenakan. Bahkan berdasarkan data prasasti, disebutkan pula jenis kain yang didapat. Seperti prasasti Sarangan (929 Masehi) menyebut bahwa semua pejabat pusat memperoleh jenis pakaian yang sama yaitu wdhihan tapis (pakaian laki-laki jenis tapis).
Selain itu, tampaknya gaya busana dengan nuansa hitam sudah ada sejak dulu. Indikasi ini terbaca dalam prasasti Gulung-gulung yang menyebutkan pembuat pewarna hitam (manyambul), penenun kain tipis (manyawring), dan pembuat warna merah dari kayu ubar (mangubar) dikenakan pajak. Prasasti Linggasuntan (929 M) juga menyebut hal serupa: pembuat warna merah dari kayu laka, pembuat warna merah dari kayu ubar, dan pembuat warna hitam dikenai pajak.
Mengapa masyarakat zaman now membenci warna hitam? Berpikiran negatif ketika melihat orang mengenakan kain tipis? Bukankah hal semacam itu sudah lumrah sejak sebelum kita menjadi siapa pun? Maka, kembalilah ke akar dan berdamailah dengan asal-muasal. Sebab, kebiasaan yang kita lakukan hari ini adalah kutipan-kutipan dari masa lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H